Tabagsel Potret Ekonomi Petani Era 70-80, Produsen Sekaligus Konsumen

Umum5996 Dilihat

IBARAT tangga rumah panggung kami, posisi petani itu berada pada anak tangga terbawah. ia menempati kasta terendah, kalah jauh dari mereka yang PNS. Hmmm jangan heran kalau gadis PNS itu rebutan dan maharnya/bolinya selangit. Begitu juga dengan pemuda PNS cepat dapat boru (istri).

Petani tradisional di Kampung ku, Siunggam, Padang Bolak, Tapanuli Selatan, di era 80-an identik dengan lumpur dan miskin. Profesi petani bukan pilihan terhormat dan bermartabat. Makanya para orangtua menasehati anak-anaknya belajar yang benar agar tidak bergelut dengan lumpur. Jangan lagi merasakan kesulitan seperti yang mereka alami. Para orangtua ingin memutus rantai kemiskinan lewat pendidikan anak.

Pangkal persoalan yang membuat petani miskin di kampung ku adalah ia produsen, tetapi juga konsumen. Ia bertani/marsaba memproduksi beras (produsen), tetapi ia juga membeli beras (konsumen). Hal ini bisa terjadi lantaran pendapatan boleh dibilang hanya dari gabah, jadi keperluan biaya anak sekolah diperoleh dari hasil menjual gabah. Apalagi menghadapi lebaran gila-gilaan jual gabah buat beli baju baru anak-anak dan beli bahan kue lebaran (alame/dodol).

Derasnya penjualan gabah jelang lebaran membuat lumbung (talobat) yang semula menggunung seketika cekung. Akhirnya stok pangan keluarga tidak mencukupi hingga panen berikutnya. Mau gak mau harus beli beras, gimana gak babak belur. Belum lagi persoalan lain menyusul, yakni masa tanam mundur jauh akibat kemarau panjang. Masa beli beras pun bertambah panjang. sementara sumber pendapatan lain, selain dari sawah, tidak ada, maka terciptalah “Haleon”, pangan terancam, kalau gak mau disebut kelaparan.

Dasar kami anak-anak yang belum peka pada situasi. Lamanya nganggur tidak ke sawah justru membuat kami senang karena waktu bermain kian lama. Kami main bola dan layangan di sawah yang kering kerontang, retak menganga. kami tidak memahami kesulitan yang dihadapi orangtua.

Suatu waktu saya dibentak mama karena ngomong, “uma nanggi marsaba, tai mangan do hita ( gak menggarap sawah, tetapi tetap makannya kita ma). Mendengar itu, mama nyerocos, sekali lagi tipikal boru Harahap cerewet dan bekbek, tetapi lembut di dalam. Keunggulan Boru Harahap itu, Ia menjaga kasih sayangnya dengan nyawanya.

Kata mama, gak tau kau buat beli beras pontang panting, utang sana sini bayarnya habis panen. Dengar bayar utang pasca panen/ habis manyabi, yah tersandera dan ijon lagi dech.

Kekosongan lumbung atau talobat ini juga membuat para remaja/pemuda boncos. Sebab gak bisa lagi manggeser. Budaya manggeser ini banyak dilakoni muda-mudi untuk keperluan jajan. Manggeser adalah mengambil padi dari lumbung seadanya, lalu secara sembunyi-sembunyi menjualnya ke toke gabah. Jangan sampai ketauan. Mengambil gabah milik orangtua ini tidak disebut mencuri, tetapi dikategorikan sebagai kenakalan remaja. Cuma ada satu dua pemuda yang digebuk orangtuanya karena salah geser, yang digeser rupanya benih yang mau dijadikan bibit alias same.
kemudian para orangtua sering kali mendatangi toke gabah untuk menanyakan ada gak anaknya yg jual gabah.

Soalnya karung gabah di rumah berkurang satu. si toke sering kewalahan menjawabnya karena dilema. diberi tau si anak dapat sanksi, gak dikasi tau ada perasaan berdosa. Sewaktu menjual gabah si anak mengaku atas perintah orangtua. (Erman Tale Daulay/asal Desa Siunggam, Paluta/tinggal di Depok)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *