SUDAH sampai pada kesimpulan: Jokowi sumber masalah. Menjalankan roda pemerintahan dengan ugal-ugalan. Menabrak konstitusi dan perundang-undangan lainnya. Belum lagi kebijakannya yang menabrak kepentingan rakyat dan lingkungan alam. Benar-benar tindakan abuse of power yang tak bermoral. Tak punya etika. Ndableg. Itulah catatan berbagai elemen bangsa, mulai forum guru besar dari puluhan perguruan tinggi, kalangan akademisi, mahasiswa, kaum profesional, apalagi kalangan aktivis dan kaum emak-emak.
Fakta bicara. Seluruh catatan kritis masyarakatnya tak digubris. Sementara, Jokowi makin “barbar” dalam menginstruksikan institusi-instusi formal seperti Mahkamah Konstitusi (MK), penyelenggara pemilu (KPU dan BAWASLU) bahkan institusi pertahanan dan keamanan. Mereka pun tunduk dengan instruksi barbar itu. Maka, suara kritis itu dipandang hanya debu atau buih. Bahkan, sang Jokowi tampaknya siap mengerahkan tanker-tanker dan personelnya untuk menghalau kekuatan rakyat yang sudah muak itu. Demi mempertahankan ambisi kekuasaannya, yang kini sedang membangun politik dinastinya.
Haruskah dibiarkan? No. Berbagai elemen bangsa ini sudah menunjukkan tekadnya: Jokowi harus dilengserkan. Bagaimana pun caranya. Ketika jalur formal akan menjumpai kendala prosedural, maka terpaksa menggunakan opsi lain: gerakan ekstra parlementer, atau pengadilan rakyat. Tentu, bukan dengan mengadili seperti lazimnya dunia peradilan: terdapat jalannya persidangan, ada majlis hakim, duduk sang pesakitan, penutut umum dan pembela. Kelaziman praktik peradalian ditiadakan. Diganti dengan gerakan nonprosedural. Revolusi sosial.
Maka, warna dominan yang menampak adalah gerakan moral dalam bentuk unjuk rasa yang melibatkan ratusan ribu orang, bahkan berpotensi lebih. Sesuai dengan informasi yang berkembang, massa akan mengepung DPR, istana, KPU dan BAWASLU. Pengepungannya tidak lagi membatasi waktu. Namun, mempertimbangkan efektivitas unjuk rasa, maka tidak tertutup kemungkinan akan muncul “inovasi”. Yaitu, membagi sebagian massa untuk mengepung kediaman sejumlah orang yang dinilai punya andil terhadap kejahatan politik Jokowi.
Di antara mereka yang berpotensi muncul dalam benak masyarakat adalah Luhut Binsar Panjaitan, Moeldoko, Anwar Usman, Hasyim Asy`arie, Qodari, Deny JA dan sejumlah pimpinan lembaga surveyor bayaran, termasuk Yusril Ihza Mahendra selaku bemper hukum.
Pengepungan terhadap sejumlah nama tersebut merupakan strategi alternatif yang bisa menggembosi kekuatan inner circle yang selama ini menjadi sandaran Jokowi. Pengepungan ini juga diperkirakan akan menurunkan sikap total perlindungannya terhadap Jokowi.
Tidak tertutup kemungkinan, mareka akan segera terbang ke Singapura atau negeri pengasingan lainnya. Lebih baik menyelamatkan diri daripada konyol membela junjungannya. Makna strategis lain adalah, pengepungan itu juga membuat aparat keamanan terpecah konsentrasinya.
Di tengah agresivitas gerakan massa itu, tidak tertutup kemungkinan akan muncul gerakan inovatif lain. Yaitu, memblokir sejumlah ruas jalan yang menjadi urat nadi ekonomi nasional. Pemblokiran bisa terjadi di wilayah ibukota (Jakarta dan sekitarnya). Bisa juga, di kota-kota provinsi yang memang menjadi lalu-lintas utama logistik pangan ataupun lainnya.
Pemblokiran itu – perlu kita catat – tidak memerlukan pengerahan massa dalam jumlah puluhan ribu orang. Dengan ratusan pemblokiran di jalan-jalan strategis itu juga akan memecah konsentrasi aparat keamanan, baik di Jakarta dan sekitarnya, juga daerah-daerah lainnya. Yang perlu kita cermati lebih jauh, dampak kontigionnya adalah akan terjadi kelangkaan barang, baik dari dalam sendiri, ataupun barang-barang impor, terutama komoditas pangan.
Maka, di hadapan mata, kita akan saksikan dua dampak integral. Pertama, inflasi akan meroket. Masyarakat pemilik tabungan akan berbondong-bondong mengambil dananya di bank. Maka, akan terjadi rush. Bank pun akan langsung sempoyongan.
Krisis moneter dan ekonomi (krismon) tak bisa dicegah. Krismon ini pasti akan membuat ekonomi nasional lumpuh. Sebagai gambaran, Desember 2012, pernah terjadi pemblokiran jalan di ruas Tangerang dan Cikarang sebagai buntut kebijakan ketenagakerjaan yang merugikan kepentingan pekerja. Hanya sekitar dua jam. Dampaknya terjadi kemacetan super panjang di berbagai ruas jalan yang akan menuju Jakarta. Sisi lain, terjadi kerugian material.
Menurut catatan asosiasi eksport-import, pemblokiran itu mengakibatkan kerugian sekitar Rp70 triliun per jam dan itu hanya di dua ruas toll (Tangerang dan Cikarang). Bagaimana jika pemblokiran terjadi di berbagai ruas? Juga, bagaimana nasib ekonomi nasional jika terjadi pemblokiran beberapa hari. Pasti ambruk ekonominya.
Kondisi ekonomi tersebut – sebagai dampak kedua – sangat memungkinkan rakyat tergerak secara anarkis. Atas nama memenuhi kebutuhan pokok, rakyat akan menjarah gudang atau pertokoan sembako. Bahkan, karena terbawa psikologi massa, penjarahan itu akan meluas dan terjadi anarkisme: pembakaran. Mirip dengan peristiwa 13 Mei 1998. Inilah mata rantai gerakan revolusi sosial, yang diperkirakan akan meluas.
Bagaimana dengan nasib Jokowi? Tentu, rakyat akan mengadili dengan caranya sendiri. Kemungkinan secara unlawful. Hukuman yang layak bagi seseorang yang telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan bernegara, di samping pembantaiannya selama ini kepada komponen masyarakat yang tak sejalan dengan arah politiknya. Hukuman itu bisa tercegah jika Jokowi dan keluarganya segera menyelamatkan diri: terbang ke negeri jiran atau ke Tiongkok sebagai negeri leluhurnya.
Itulah pengadilan rakyat yang akan ditegakkan. Memang, cukup barbar. Tak manusiawi. Namun, barbarisme itu sangat sepadan dengan barbarisme yang dilakukan rezim ini. Jadi, jangan menilai dan menghakimi barbarisme rakyat. Sikap rakyat hanyalah tindakan proporsionalitas atas kejahatan rezim pembohong, culas, yang memang sangat melampaui batas. Ugal-ugalan dan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara sampai ke titik terendah.(Agus Wahid,
(Analis Politik tinggal di Bekasi)