YA, ini cuma mimpi, kata halus untuk berharap. Jika saja boleh, calon ketua-ketua PWI di berbagai tingkatan, selain punya KTA, hendaknya juga punya karya.
Saya tahu, ini tidak lazim. Tapi, sebagai mana naluri wartawan, sesuatu yang tidak lazim, bisa jadi karya besar.
Banyak contoh tentang hal itu. Misalnya liputan tempo, Kompas, dan banyak media yang akhirnya dapat menguak sesuatu yang disembunyikan kebusukkannya dari khalayak, akhirnya terkuak.
Mengapa mimpi saya itu, pagi ini saya tuliskan? Jawabannya, jangan menyeret organisasi kita ke ranah politik praktis. Artinya, PWI adalah organisasi yang oleh para pendahulu kita dilahirkan untuk menjaga kepentingan khalayak, itu sebabnya PWI, wajib netral. (Mudah-mudahan sih masih…)
Sudah jadi rahasia umum, pemilihan apa pun (mudah-mudahan PWI, masih…) selalu diwarnai money politics.
Ustad Nurdin Sade dalam Mutiara Pagi RRI Nunukan, Minggu (11/2/2024) menyampaikan “Dalam Islam, praktik politik uang hukumnya adalah haram. Hal ini karena praktik tersebut termasuk dalam kategori risywah, yaitu pemberian sesuatu kepada seseorang dengan tujuan agar orang tersebut melakukan atau tidak melakukan sesuatu.11 Feb 2024.
Dalam Al-Baqarah ayat 188, Allah berfirman terkait larangan memakan harta dengan cara yang haram. Uang sogok-menyogok, pasti haram.
Berkaitan dengan itu, maaf, terkait hal ini hampir tidak terhindarkan, sekali lagi, mudah-mudahan di lingkup PWI, masih ….
Nah, untuk meyakinkan kita bahwa ketua yang terpilih sungguh-sungguh wartawan asli bukan WTK dulu WTS (Wartawan Tanpa Karya dulu Wartawan Tanpa Surat Kabar), bolehlah kita mintakan karya-karya mereka.
Terkait karya, kita bisa melihat sampai di mana sang calon memiliki kemampuan untuk menyikapi satu kasus dengan baik dan benar. Idealnya sih karya yang menasional. Artinya, karyanya itu bukan hanya diakui oleh lingkungannya sendiri apalagi oleh diri sendiri. Syukur-syukur karyanya bisa membedah banyak hal dengan segala aspeknya.
Maaf lagi nih, banyak KTA bertebaran, tapi nihil karya bertebaran. Artinya, jangan KTA PWI dijadikan alat, tapi hendaknya karya yang harus bermanfaat..
Sekali lagi, ini cuma mimpi kata halus dari berharap agar PWI di semua tingkatan, betul-betul dipimpin oleh wartawan yang asli, bukan wartawan jadi-jadian.
Sekali lagi mohon maaf lahir batin, jila tulisan ini tidak mengenakan sebagian anggota PWI atau tulisan ini menyinggung, sekali lagi maafkan saya.
Jujur, saya berharap hingga kiamat nanti, PWI WAJIB MENJADI alat untuk kemaslahatan umat bukan golongan (mudah-mudahan sih bisa demikian, meski terkadang ada kelihatan eee… nya).
Wassalam. (M Nigara, Wartawan Senior,
Pemegang Number One Press Card)