Mana Lebih Baik Mereka Memilih atau Mereka Melepas WNI….?

Sport462 Dilihat

TIMNAS Merah-Putih, tiba-tiba menjadi seperti sinar yang terang (mungkin agak berlebihan), dalam perjalanannya ( selama ini begitu buram, tidak bisa disebut gelap apalagi gulita). Ya, diakui atau tidak, prestasi timnas kita belum sekalipun bisa tampil di Piala Dunia.

Tahun 1938, ada sederet pemain pribumi yang ikut tampil di Piala Dunia ke-3 di Paris, tetapi bukan membela Merah-Putih melainkan Hindi-Belanda. Atas izin tidak formal dari Ir. Soeratin, Ketua Umum PSSI saat itu, dan demi menimba pengalaman paling berharga, Achmad Nawir (dipercaya jadi kapten tim), Sutan Anwar, Suvarte Soedamardji, Isaac Pattiwael, dan Frans Alfred Meeng, tampil di Paris.

Lalu, 1979, putaran final Piada Dunia Junior, Tokyo, Bambang Nurdiansyah, David Sulaksmono, Mundari Karya, Arief Hidayat, dkk, juga tampil di pesta sepakbola itu. Kita beruntung, Irak sang juara zona Asua, mundur karena politik. Lalu, Korut juga menolak menggantikannya karena hal serupa. Indonesia oleh AFC dan FIFA ditunjuk untuk menggantikan kedua negara itu.

Di Olimpiade Merlbourne, Australia, 1956, Maulwi Saelan (kiper), Endang Witarsa, Thio Him Tjiang, Liong Ho, Ramlan, Rusli Ramang, dan kawan-kawan tampil sangat menawan. Di laga awal, kita menang WO atas Vietnam. Di laga kedua, kita mampu menahan Uni Soviet, 0-0. Tiga hari kemudian di partai _play off_, kita kalah 0-4, dan Soviet akhirnya meraih medali emas.

Selain itu, Pra Piala Dunia 1986, Meksiko, Herry Kiswanto, Dede Sulaiman, Joko Malis, Rully Neere, Ferel Reymon Hattu, dan kawan-kawan, mampu menjadi juara Sub-Grup III B menyingkirkan Thailand, Bangladesh, dan India. Namun tim terhenti ketika bertemu dengan Korsel. Catatan, sejak itu Korsel hingga Piala Dunia 2022, Qatar, tidak pernah absen.

Artinya, prestasi timnas kita, tidak dalam keadaan gelap apalagi gulita. Tapi, jujur, ketika Vietnam yang awalnya tim anak bawang, mampu menyalip kita dan Thailand semakin jauh melangkah, perubahan wajib dilakukan.

Sudah banyak juga upaya dilakukan hingga awal 2009, duet Nurdin-Nirwan mencoba mengambil jalan pintas, melakukan naturalisasi, tak banyak yang menyadari bahwa itu adalah awal sinar terang itu. Lalu, saat Iwan Bule, ketum PSSI 2019-2023 dan didukung Menpora, Zainudin Amali menunjuk Shin Tae-yong, perlahan tapi pasti jalan semakin terang.

Dan duet baru di PSSI, Erick Thohir- Prof Zainudin Amali, jalan semakin terang. Jika selama ini para pemain naturalisasi masih dinilai belum mumpuni, kini semakin terlihat 5-6 pemain keturunan Indonesia-Belanda punya kelas di atas pemain lokal.

Yang istimewa, jika selama ini ada seperti keengganan anak-anak keturunan membela Merah-Putih, kini seperti berlomba. Jika selama ini negeri leluhur mereka hanya dipandang sebelag mata, kini berbeda.

Pertanyaannya, apakah dengan begitu otomatis kita bisa tampil di Piala Dunia 2026, Amerika, Meksiko, Kanada? “Terlalu jauh itu. Saat ini, kami sedang fokus untuk bisa lolos kepuataran tiga sebagai _runner up_ Grup F, ” begitu kata STY.

Ya, STY benar. Kita fokus dulu di sini. Dan untuk meningkatkan kekuatan, kita perlu menambar peluru. Bersyukurnya, kini sederet pemain termasuk yang di level teratas liga-liga Eropa sudah mau bergabung.

Mana Lebih Baik
Pro dan kontra masih akan terus berlangsung. Untuk yang pro, pemikirannya hanya satu, bagaimana sepakbola, cabang olahraga pertama yang berani mendeklarasikan ke-Indonesia-an, saat penjajah masih kokoh mencengkram, 19 April 1930, bisa meraih prestasi.

Sementara bagi mereka yang kontra: “Apa tidak ada lagi anak-anak lokal yang bisa dibina?” Pertanyaan yang wajar mengingat usia PSSI yang demikian matang dan kita memiliki jumlah anak-anak hingga 19 tahun lebih dari 60 juta.

Perbedaan pro dan kontra, menurut saya, sesungguhnya memiliki nilai yang mulia. Satu sisi ingin sepakbola berjaya dan satu sisi ingin anak-anak lokal juga berjaya. Sungguh dua soalan indah yang perlu kita cermati dan jaga agar tidak di bawa ke ranah politik praktis.

Maklum, dalam 10 tahun terakhir, apa saja ingin dipertentangkan. Lebih miris lagi ada yang memang terus memperbesar pertentangan. Dengan kondisi seperti itu, ada pihak-pihak yang justru mampu membangun kerajaan bisnis.

Mereka tidak perduli dengan tujuan mulia. Mereka justru lebih mengutamakan kepentingan sesaat. Sungguh mengerikan karena tujuannya adalah bagaimana mengeruk keuntungan dari pertentangan. Makin tajam, makin menguntungkan.
Maka timbullah istilah BuzzerRp.

Pertanyaannya, bagaimana sikap kita pada mereka (atlet) yang memilih keluar dari warga negara Indonesia? Mengapa mereka memilih menjadi warga negara lain ketimbang rela mati demi Merah-Putih? Marahkah kita, atau ….?

Kita juga tidak boleh marah, karena ini soal pilihan. Meski kecewa, kita tahan sampai di situ saja. Hendaknya kita melihat kemanfaatannya yang jauh lebih luas.

QS al-An’am ayat 59, “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula)….”

QS al-Qamar ayat 49. “Tiada sesuatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (al-Lauhul mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.”

Jadi, untuk mereka yang ‘kembali kepangkuan ibu pertiwi’ dan yang hengkang, sesungguhnya adalah telah tertulis dan merupakan ketentuan dari Allah. Kita syukuri kembalinya mereka in syaa Allah akan membawa berkah.

Dan untuk mereka yang hengkang, kita juga perlu mensyukuri karena kepergiannya tidak membawa kerugian apa pun bagi bangsa ini.

Semua bukan tiba-tiba, Allah telah memberi kisi-kisi, memberi petunjuk, mana baik dan mana buruk lewat agama. Namun, kitalah manusia yang sering abai serta salah memilih, karena nafsu serakah, nauzubillah.

Jadi, Mana Lebih Baik Mereka Yang Memilih Jadi WNI atau Mereka Melepas WNI….? Semua berpulang pada pandangan kira masing-masing.

Di bawah ini sebagian kecil daftar atlet:

Menjadi WNI
1. Elkan Baggott
2. Marc Klok
3. Jordi Amat
4. Sandy Walsh
5. Shayne Pattynama
6. Ivar Jenner
7. Rafael Struick
8. Justin Hubner
9. Jay Idzes
10. Nathan Tjo-A-On
11. Tom Haye
12. Ragnar Oratmangoen

Menjadi WNA
1. Dominggus (Sepakbola 1960an)
2. Mia Audina (Bulutangkis)
Prestasi: Emas Seag 1997
Perak Olimpiade Atlanta 1996
3. Tony Gunawan (Bulutangkis)
Prestasi: Emas Olimpia Syney 2000
4. Halim Haryanto (Bulutangkis)
5. Dany Bawa idem
6. Setyana Mapasa idem
7. Ade Risky idem

Semoga bermanfaat. (M Nigara, Wartawan Olahraga Senior)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *