MOBIL pribadi model Hijet 100, Carry dan Kijang tampak ramai parkir di jalanan depan rumah. Pemiliknya adalah para perantau yang pulang kampung ke Siunggam, Tapanuli Selatan, kini mekar jadi Paluta, pada Lebaran di pertengahan 80-an.
Mereka yang pulang kampung membawa mobil pribadi dianggap sukses. Dan disebut sudah jadi manusia (madung jadi jolma si aha). Dalam hati ku, kalau belum punya mobil berarti belum jadi manusia atau inda jolma.
Tersiar cerita, cenderung dilebih-lebihkan, si Ucok sudah bos di Dinas PU Kantor Gubernur; si Daulay pemborong tersohor di perantauan dan si Harahap sudah punya enam kios photo copy di Pondok Gede dekat Lubang Buaya. Jangan heran bila sambutan hangat diberikan pada mereka yang ditandai ramainya undangan jamuan makan alias “marpio mangan”.
Anak-anak perantau yang tak lain sanak famili itu berbaur dan bermain bersama kami anak-anak desa yang belum lancar berbahasa Indonesia. Kendala bahasa ini jadi momok yang menakutkan bagi kami.
Paman saya A. Daulay kalau diajak ngobrol sepupunya dari Medan, cuma bisa senyum-senyum alias tak berani berdialog. Bahasa Indonesia anak kampung itu berputar pada kata itu…itu…itu…Saat ditanya anak kota di mana tempat jajan bonbon/permen, kami hanya bisa bengong. Dengar kata jajan dan bonbon begitu angker bagi kami. Banyak betul bahasa mereka yang tak berani kami timpali.
Begitu juga bagian para Oppung yang boleh dibilang cuma bermodalkan Sekolah Rakyat, malah banyak diantaranya yang buta huruf karena tak pernah duduk di bangku sekolah. Si Oppung yang begitu rindu ingin bermain dengan cucunya terhadang masalah bahasa Indonesia. Apalagi si cucu lagi menangis, rasanya ingin mendiamkan, apa daya si oppung tak mengerti permintaan si cucu yang membuat ia menangis.
Meski gagap berbahasa Indonesia, kami tetap percaya diri bermain sama mereka.
Kami ajak mereka mandi ke sungai dan bermain di padang yang luas. Bedanya kalau mereka main kelamaan dicari sama orangtuanya, sementara kami boro-boro dipanggil dan dicari.
Giliran waktunya makan, si anak rantau dirayu makan siang, ada yang disuapi dan diramaskan mamanya. Sementara saya dan kawan-kawan berpegang prinsip, “nanti juga lapar ke rumah, ambil sendiri. gak bakal dirayu-rayu untuk makan macam anak kota itu. Malah kami yang merengek-rengek minta makan.”
Satu dua perantau ada yang sudah memiliki anak gadis. Banyak pemuda desa mengincarnya alias mau mangepet. Tapi begitu mau mendekat, lari menjauh seketika karena bingung memulai percakapan dengan bahasa Indonesia. Akhirnya cuma bisa Caper di depan si cewek.
Para anak perantau ini setiap hari salin atau ganti baju lengkap dengan pakaian dalam. sehabis mandi badannya diberi bedak. Sementara kami celana yang satu bolong dua bagian belakang alias kaca mata sudah bertahan seminggu tanpa pakaian dalam.
Kami mandi mengandalkan sabun batang cap gajah, bekas cuci pakaian. Kami pernah ditegur tante yang dari kota, kenapa gak ganti baju? Kami hanya merespon dengan tertunduk. Sementara baju baru kami hanya boleh dipakai di hari H lebaran, dan tiga hari kemudian wajib dilepas untuk dicuci dan dikembalikan ke lemari. Baju itu hanya boleh diipakai waktu pesta atau horja dan saat bepergian mengunjungi famili ke kampung lain. (Erman Tale Daulay, tinggal di Depok).