Mudik Era 80-an di Siunggam ; Mati Karena Gaya

Umum1162 Dilihat

PARA pemuda perantau ‘korban’ akulturasi itu cari perhatian bukan main. Penampilan mereka mencolok ketika mengunjungi pasar keliling Siunggam, Tapanuli Selatan, yang disebut Hari Poken. Perantau dari Medan, Pekanbaru, Jakarta dan Sumbagsel memiliki ciri tersendiri. Mereka tampil necis, satu hari satu jenis pakaian. tidak seperti dulu lagi, satu celana bertahan seminggu, diselingi kain sarung.

Gaya bahasa pun kini dimix alias dicampur-campur. Delapan pulu persen bahasa Siunggam, 20 persen bahasa Indonesia, tetapi yang 20 persen ini ia tampilkan seakan-akan tidak disengaja dan itu muncul akibat lama tinggal di rantau.

Malah ada yang lebih parah lagi, satu dua orang perantau dari Parapat yang bekerja di seputar Danau Toba sudah total berbahasa Batak Toba yang dialeknya berbeda jauh dari Batak Tapsel. Terkadang bahasanya tetap Tapsel, cuma logatnya ia kencangkan macam logat Toba. Misalnya, sapai ma sia aha, seharusnya Sukkun ma imana. Artinya menang logat doang.

Katanya, di Parapat ia biasa berbaur dengan preman Siantar yang terkenal menakutkan itu. Preman Siantar itu garang, berani dan punya pertahanan diri yang kita sebut ” Partahan”. Kita pun dibuat ngeri sama cerita kawan itu. Kawan itu mengidentifikasi diri jadi preman Tiga Dolok.

Di malam hari, para perantau ini berkumpul di lopo, sejenis usaha makan minum yang menyediakan tempat bagi pengunjungnya. Mereka saling berlomba menempatkan diri sebagai subyek cerita. Sebagai subyek didahului perkataan, molo au (kalau saya) bla..bla..bla..satu dua orang berlomba menonjolkan diri…

Bilamana ada penduduk kampung yang terpukau dengan cerita, si perantau pun berucap, “ima, ulang iba songon touk di bagasan takar (makanya jangan seperti katak dalam tempurung). Mendengar itu saya malu hati. Sebagai bocah yang masih SD, apalah yang bisa ku perbuat. Paling dalam hati kala itu, kelak dewasa nanti akan saya balap lewati kalian.

Tibalah hari lebaran, penampilan dan gaya perantau ini memberi warna bagi penduduk desa. Mereka berada di puncak penampilan. Bila pemuda kampung menghisap rokok Commodore, Union, Asli dan Gunung Mas, para perantau menenteng rokok berkelas, seperti Dji sam soe, Lucky Strike dan Surya. Di momen lebaran ini segala gaya dikerahkan.

Wakakakak… empat hari lebaran banyak perantau yang hilang dari peredaran, tidak tampak lagi di lopo. malah sering didapati di rumah nongkrong memakai kain sarung. Keadaan kini berbalik, suara lantang dan kombur kehebatan seketika hilang berubah jadi irit bicara. Rupanya pundi-pundi sudah habis, malah buat ongkos balik ke perantauan pun tidak tersisa sama sekali.

“Matallus cakui, jadi ro mangohom. ”
Banyak orangtua yang heran, suasana lebaran sudah habis, kok si anak belum ada cerita pulang. Usut punya usut ternyata si anak tak ada bekal balik. Daripada bikin pusing di kampung, si orangtua terpaksa jual gabah buat ongkos si anak.

Di tempat penjualan, si toke gabah bertanya keheranan, “kok baru seminggu lebaran sudah jual gabah lagi parumaen? Si ibu menjawab, “naaa tardokkon da mangboru namarpoppari. giot mulak pahoppu muyu nadong ongkosna ( sayang anak). Si toke kembali menimpali, bukannya anaknya sudah bekerja? Si ibu dengan kasih sayang sama anak tak terbatas sepanjang masa, dalam kondisi apa pun, berucap, ” ia kehabisan ongkos karena terlalu boros di hari raya, sampai lupa sisihkan buat ongkos balik.

Seiring dengan nertambahnya usia saya, rupanya penampilan tidak mencerminkan kemampuan asli seseorang. Seminggu lebaran, pasar Siunggam, Tapanuli Selatan, berangsur-angsur sepi. dan disambut mulai ramainya pesta pernikahan alias horja yang menyuguhkan hiburan resepsi. (Erman Tale Daulay, tinggal di Depok)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *