TIDAK ada produk kebijakan buatan manusia yang sempurna. Pasti ada saja titik lemahnya. Namun, bila titik lemah itu terjadi pada ranah kebijakan pemerintah seperti pada penerimaan perserta didik baru (PPDB) yang berlaku secara nasional, terkhusus kebijakan yang menerapkan sistem zonasi, tentu ini akan menimbulkan dampak yang luas dan menyedot perhatian publik.
Sistem zonasi ini sesungguhnya ideal, yaitu, menciptakan upaya pemerataan jumlah partisipasi atau keterserapan jumlah anak didik, sebagai mitigasi terjadinya konsentrasi atau penumpukan jumlah siswa pada sekolah tertentu, karena pertimbangan keunggulan atau favorit sekelah tersebut.
Demikian, Bang Haji Setiadi (BHS) menyampaikan persoalan PPDB yang kini sedang menjadi perbincangan masyarakat, termasuk di Kota Bekasi, terutama kalangan orang tua yang ingin memasukkan anak-anaknya di lembaga pendidikan, di tingkat SLTP dan STLA, Rabu (5/6/2024)
Perbincangan yang mengarah pada kegelisahan itu, kata anjut BHS selaku pemerhati masalah-masalah perkotaan Bekasi ini – karena, praktik zonasi itu sering terjadi penyimpangan. Untuk memaksakan masuk zonasi agar bisa bersekolah di lembaga pendidikan yang diinginkan, maka orang tua calon siswa berusaha menyiasati alamat calon siswa ke pengurus wilayah sekitar sekolah tersebut. Dan siasat ini tak lepas dari adanya praktik suap . Istilahnya, “nembak domisili” sesuai lokasi lembaga pendidikan itu.
“Tidak hanya itu, di sejumlah sekolah, patut diduga terdapat oknum yang memainkan peluang dengan menggunakan kewenangannya secara salah menurut hukum dan sistem administrasi pendidikan. Penyalahgunaan wewenang ini tak lepas dari suap. Dan, permainan para oknum di tengah lembaga-lembaga pendidikan bukan lagi hal yang ditabukan dan menjadi rahasia umum. Praktik ini seperti mafia, siapa berani bayar tinggi, calon siswa bisa leluasa masuk ke sekolah yang diinginkan, meski ia di luar zonasinya,” papar BHS.
Mafia itu, lanjutnya, harus dicegah. Ini persoalan serius. Bukan hanya persoalan hukum, tapi juga mental yang tidak baik. Tak layak dibudayakan. Pendekatannya, tegakkan sikap disiplin agar sistem zonasi bisa berlaku on the track sehingga tujuannya tercapai yaitu, terwujudnya keadilan di dalam proses PPDB.
“Sulitkah menegakkan disiplin zonasi?” tanya BHS sembari menegaskan, “Tidak” bila ada tindakan tegas kepada para oknum. Indikatornya mudah, cermati gaya hidup para guru dan atau siapapun yang memegang otoritas di sekolah itu. Jika, pasca PPDB, lalu terlihat perubahan gaya hidup seperti belanja mobil atau barang-barang lainnya yang menunjukkan tidak match dengan gajinya, maka di sana terlihat indikasi penyalahgunaan itu.
Dalam hal ini Dinas Pendidikan dari Pemerintahan Kota, bahkan Walikota itu sendiri bisa menelisik. Perlu kerjasama dengan aparatur penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan). Jika terjadi sejumlah oknum yang terjaring, insya Allah, tindakan hukum ini bisa menjadi terapi kejut.
Komitmen penegakan hukum, tambah BHS sebagai pemerhati masalah-masalah perkotaan Bekasi ini, sangat jelas, yaitu harus terjadi pemerataan distribusi keadilan, terkait jumlah siswa, sekaligus jumlah serapannya. Pendekatan zonasi ini juga bisa merangsang lomba antarlembaga pendidikan untuk sama-sama menciptakan keunggulan komparatifnya.
Sisi lain, jangan membiarkan praktik penyalahgunaan wewenang (korupsi) di tengah lembaga pendidikan. Sebuah lembaga yang harusnya memang menjadi arena pembelajaran masalah anti korupsi dan moral. Maka, lembaga pendidikan di manapun tidak boleh memberikan contoh yang tak terpuji itu. (Chandra Prabantoro)