LAZIMNYA masa kanak-kanak, masih senang bermain. Kasti, mobil-mobilan, petak umpet dan bermain bola bersama anak-anak lain yang sebaya. Namun, masa-masa yang indah dan ceria itu tidak dapat dinikmati. Karena keadaan harus membantu orang tua di ladang dan sawah.
Masa kanak-kanakku terenggut oleh kemiskinan. Ditambah lagi keberanian abang M Idris Nasution ingin kuliah di Universitas. Pedih rasanya hati ayah. Ketika ejekan orang-orang di sekitar masih terbayang. Padahal secara ekonomi kami adalah orang tak mampu.
Jangankan untuk membiayai kuliah, buat kebutuhan pokok saja tak mencukupi. Kata orang sekarang kami termasuk keluarga pra sejahtera. Artinya kondisi ekonomi keluarga kami tak mampu makan dua kali sehari. Rumah masih dinding bilik dan kurang gizi.
Mengenai soal kurang gizi tak bisa dibantah lagi. Dua adikku yaitu Nesrahani Nasution dan Esnayani Nasution, meninggal dunia. Disebabkan kurang gizi. Tubuh kurus kering tinggal tulang berbalut kulit. Ditambah lagi penyakit cacing pita yang terus menggerogoti.
Masih segar dalam ingatan. Detik-detik jelang meninggalnya adikku Nesharani. Di tubuh kurusnya itu, mamak masih sempat meneteskan air di bagian leher yang sudah cekung. Kakinya secara bertahap dingin hingga akhirnya rohnya lepas dari tenggorokan. Ketika adikku tak bergerak lagi mamak bertanya kepada ayah.
”Apa masih ada napasnya?”
Ayah memegang tangan yang kurus tepat di urat nadinya, kemudian ayah menjawab, “tidak ada lagi”.
Baru mamak menangisi adikku itu. Dua adikku Nesrahani dan Esnayani meninggal karena kemiskinan kami.
Suatu hari, ayah sakit. Ia demam yang sangat tinggi. Tak bisa berangkat untuk menyadap karet (menderes). Padahal tuntutan kebutuhan sangat mendesak. Mamak menyuruh ku pergi menyadap karet sendirian tanpa ayah. Dan itu untuk pertama kali menyadap karet sendirian.
“Pergilah nak sendirian. Sedapatnya aja (maksudnya berapa batangpun yang bisa saya sadap sudah cukup). Karena cuma itu kemampuannya. Nanti kalau kau sudah pulang menyadap, getahnya sudah dikumpulkan, kau boleh main dengan teman temanmu,” rayu mamak agar aku mau pergi menderes sendirian.
Karena kepatuhan terhadap orang tua, meski terasa sangat berat, aku ambil juga pisau penderes (piso guris) dan kaleng tempat mengumpulkan getah. Lalu berangkat dengan berlari-lari kecil menuju kebun karet yang jaraknya sekitar 6 km dari rumah.
Sampai di kebun karet, jangan bayangkan kebun karet itu seperti perkebunan karet yang dikelola oleh PTP yang tertata rapih. Perkebunan karet milik rakyat seperti hutan. Pohon karet bercampur dengan pohon kayu yang besar-besar serta rumput arsam yang menutupi jarak pandang antara satu pohon dengan pohon yang lain.
Di celah-celah pohon karet yang penuh semak arsam, sangat disenangi babi hutan untuk membuat sarang. Kalau beranak, bisa mencapai enam ekor. Di sekitar sarang babi tersebut juga banyak tampiras (tampiras adalah sejenis kutu warna putih yang melekat di tubuh babi hutan). Tampiras bisa berkembang sampai ratusan di dedaunan.
Jika daun itu tersentuh ia akan loncat ke tubuh kita dan menjalar dengan gesitnya. Celakanya, tampiras sangat gemar menggigit di bagian alat vital kita. Gigitannya menimbulkan bengkak.
Aku mulai menderes satu batang demi satu batang, sambil bersiul menghibur hati. Menyanyikan musik El Surayya Medan pimpinan Ahmad Baki. Kebetulan saat itu sedang booming. Di setiap kampung, di rumah-rumah selalu terdengar lagu-lagunya. Suara azan, selimut putih, cita-cita, petuah, panggilan Jihad gubahan buya Hamka adalah lagu yang sedang hit masa itu.
Terkadang aku menangis tanpa terasa. Berat nian rasanya hidup ini. Tak bisa bermain dengan teman-teman sebaya. Terkadang suka iri. Melihat anak-anak yang bermain dengan suka ria. Nasibku tak sebaik mereka. Bisa bermain dan sekolah dengan normal tanpa dibebani dengan macam-macam tugas.
Sejak jam lima pagi aku berangkat menderes. Jam delapan aku harus pulang karena mau sekolah. Aku berlari-lari ke sekolah agar tidak ketinggalan pelajaran. Namun, sudah pasti terlambat. Jangan tanya soal bau badan. Aku tak pernah mandi dengan sabun wangi. Sabun tak pernah mampir di rumah kami.
Jangankan untuk sabun, celana saya yang terbuat dari keper hongkong sudah robek di pantat kiri dan kanan. Di celah-celah jahitan celana dan baju, muncul tuma sejenis kutu. Boleh jadi karena kainnya bau dan kotor, jarang dicuci.
Sehabis belajar di sekolah, aku kembali ke kebun karet untuk mengumpulkan getah yang sudah ku sadap. Aku mengumpulkan getah itu dari satu pohon ke pohon lain.
Ketika sedang mengumpulkan getah di lereng kebun. Dengan kemiringan yang ekstrim, di atas jalan setapak yang sedikit licin, aku tergelincir. Terjerembab ke tanah. Kaleng yang sudah berisi getah setengahnya melesat ke atas dan menimpaku. Tumpah. Kepala penuh dengan getah.
Dalam suasana panik aku masih berusaha mengumpulkan getah yang tumpah ke tanah dengan cara memerasnya. Tapi hanya sedikit sekali yang bisa diselamatkan. Selebihnya masuk ke dalam tanah.
Pandangan mata mulai rabun. Bulu mata lengket sehingga tak bisa melihat jalan dengan jelas. Rambut menyatu karena getah. Susah payah aku pulang. Menangisi nasib yang malang. Maksud hati membantu orang tua. Apa daya, takdir Allah berkata lain. Hari itu belum beruntung. Belum bisa membawa hasil yang aku persembahkan kepada orang tua.
Sesampainya di rumah, mamak menangis melihat anaknya terguyur getah karet. Akhirnya dengan cepat mengambil minyak tanah di botol untuk membersihkan tubuhku dari getah. Setelah itu aku dibawa ke sungai Ulu Aer. Lokasinya berada di bagian utara Kampung Pagaranbira. Membersihkan getah yang lengket di tubuh, mulai dari kepala hingga kaki.
Menjelang matahari masuk ke peraduan, aku baru pulang dari sungai. Meski tubuhku belum sepenuhnya bersih dari getah yang menempel. Kepala terasa panas. Tidak sedikit rambut terpaksa rontok akibat lengketnya getah yang menempel.
Semua ini kupersembahkan kepada abangku M Idris Nasution, kau pasti tak tahu cerita ini secara lengkap, meski mungkin mamak pernah cerita. Kami tetap bangga abang berhasil menyelesaikan kuliah. Juga membantu kami saat sekolah di Padangsidempuan. Meski masih dalam suasana prihatin. Mudah-mudahan abang membaca cerita ini dan mengambil ibrah dari kisahnya. (Imran Nasution)