MAKNA AL-HIKMAH DALAM KOMUNIKASI DAKWAH

Umum470 Dilihat

Oleh : Dra. Hj. Siti Nur Riani, M Ag.
(Dosen Agama Universitas Yarsi)

ABSTRAK: Dakwah bil Hikmah Yakni menyampaikan dakwah dengan cara yang arif bijaksana, yaitu melakukan pendekatan sedemikian rupa sehingga pihak obyek dakwah mampu melaksanakan dakwah atas kemauannya sendiri, tidak merasa ada paksaan, tekanan maupun konflik. Dengan kata lain dakwah bi al-hikmah merupakan suatu metode pendekatan komunikasi dakwah yang dilakukan atas dasar persuasif. Cara yang dimaksud di sini adalah menjelaskan kebenaran dan memberi semangat untuk dapat menerimanya dan mengambil faedah dari dakwah itu.

KATA KUNCI : Al-Hikmah, Komunikasi, Dakwah, Madu, Toleransi, Sibghah

A. Pendahuluan
Dalam sebuah pepatah dinyatakan Al-Thariqatu Ahammu min Al-Maddah cara atau metode lebih penting daripada materi. Ungkapan ini sangat relevan dengan kegiatan dakwah. Karena betapun bagus dan penting materi yang akan disampaikan dalam sebuah kegiatan dakwah, bila disampaikan dengan cara yang sembrono, tidak sistematis dan serampangan, pasti akan menimbulkan kesan yang tidak menggembirakan dan tidak efektif. Sebaliknya, meskipun materi yang akan disampaikan adalah persoalan yang sepele dan kurang penting, jika disampaikan dengan cara yang tepat dan sistematis pasti akan menghasilkan pengaruh yang positif.
Oleh sebab itu, agar kegiatan dakwah bisa efektif, efisien, dan mampu menjadi pendorong bagi perubahan ummat ke arah yang lebih baik, ia harus dikemas dengan cara dan metode yang tepat dan sistematis. Salah satu metode yang harus digunakan tersebut adalah metode hikmah atau yang sering diartikan sebagai kebijaksanaan, seperti yang termaktub dalam firman Allah Swt.:
Artinya: Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan jalan yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dan Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.(QS. Al-Nahl (16):125 )

Pada ayat di atas, hikmah ditempatkan pada urutan pertama karena memang arti hikmah mencakup emosional, intelektual dan spiritual. Dengan modal hikmah, seorang dai akan memiliki kecerdasan dalam berdakwah, sehingga ia mampu mengkomunikasikan pesan dakwah dengan baik dan bisa menarik lingkungan ke dalam ajakannya. Demikian juga wawasan yang luas akan memberikan pemahaman terhadap madu dan kepribadian yang mulia kian memancarkan kewibawaan bagi dai dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah.
Bertolak dari itu, tulisan singkat ini akan menguraikan tentang makna Al-Hikmah dalam kegiatan dakwah beserta cakupan-cakupan yang terkandung di dalamnya.
B. Pembahasan
a. Pengertian Al-Hikmah
Kata Al-Hikmah berasal dari akar kata hakama, yang dalam Al-Quran dengan berbagai derivasinya terulang sebanyak 211 kali. Sementara dalam bentuk mashdar kata Al-Hikmah, baik dalam nakirah atau marifat hanya terulang sebanyak 19 kali (Al-Baqi, 1981). Hikmah diartikan sebagai yang paling utama dari segala sesuatu baik pengetahuan maupun perbuatan. Hikmah juga diartikan sebagai sesuatu yang apabila diperhatikan atau digunakan akan mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan, serta menghalangi terjadinya madhara atau kesulitan. Makna ini ditarik dari kata hakamah, yang berarti tali kekang atau kendali, karena kendali menghalangi hewan/kendaraan mengarah ke arah yang tidak diinginkan, atau menjadi liar. Memilih suatu perbuatan yang terbaik dan sesuai adalah perwujudan dari hikmah. Memilih seuatu yang terbaik dan sesuai dari dua hal yang buruk pun dinamai dengan hikmah dan pelakunya dinamai hakim (bijaksana). Karena itulah secara harfiyyah kata Al-hikmah sering diartikan sebagai kebijaksanaan.
Sementara bila dilihat dari penggunaannya dalam Al-Quran, sebagaimana ditafsirkan oleh para mufassir, kata Al-hikmah mengandung arti yang bermacam-macam, yaitu antara lain (Al-Qohatahani, tt).
Kenabian.
Pengetahuan tentang Al-Quran.
Kebijaksanaan pembicaraan dan perbuatan (Al-Shabuni, 1996)
Pengetahuan tentang hakikat kebenaran dan perwujudannya dalam kehidupan.
Ilmu yang bermanfaat, ilmu alamiah dan aktifitas yang membawa kepada kemaslahatan ummat.
Meletakkan suatu urusan pada tempatnya yang benar.
Mengetahui kebenaran dan beramal dengan kebenaran tersebut, pengetahuan yang lurus dalam pembicaraan dan amal.
Kondisi psikologis seperti ketundukan, kepasrahan dan takut kepada Allah.
Sunnah Nabi.
Posisi wara terhadap agama Islam.
Sikap adil keutamaan sehingga pemikiran dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya (Al-Zuhaili, 1415 H)
Sementara sebagai metode dakwah hikmah diartikan kemampuan untuk memilih, memilah dan menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi obyektif sasaran (madu), juga kemampuan dalam mengkomunikasikan materi dakwah dengan argumentasi logis dan bahasa yang komunikatif. Sayyid Quthb, misalnya, mengatakan dalam tafsirnya Fi Dhilal Al-Quran, ketika menafsirkan ayat 125 surat Al-Nahl, hikmah adalah memperhatikan situasi dan kondisi sasaran dakwah. Materi yang dijelaskan tidak memberatkan orang yang dituju, tidak membebani dengan sesuatu yang memberikan sebelum jiwa menerimanya. (Quthb, 1978).
Menurut Husain Fadhullah, hikmah adalah berjalan pada metode yang realistis (praktis) dalam melakukan suatu perbuatan, maksudnya selalu memperhatikan realitas yang terjadi di luar, baik pada tingkat intelektual, pemikiran, psikologis, maupun sosial. Menurutnya, dalam arti demikian, maka hikmah adalah mirip dengan Al-Murunah (fleksibilitas/elastis) (Fadhullah, 1997). Selain itu, hikmah juga berarti pengetahuan yang dikembangkan dengan tepat sehingga menjadi sempurna ia termanifestasikan dalam empat hal kecakapan manajerial, kecermatan, kejernihan dan ketajaman pikiran. Karena itu, M. Nashir menyimpulkan bahwa hikmah adalah lebih dari semata-mata ilmu. Ia adalah ilmu yang sehat, yang sudah dicernakan, ilmu yang sudah berpadu dengan rasa periksa, sehingga menjadi daya penggerak untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat (Nashir, 1981).
Cakupan Makna Al-Hikmah Dalam Dakwah
Sebagaimana terbaca di atas, dalam dunia dakwah, hikmah adalah penentu sukses atau tidaknya kegiatan dakwah. Karena itu, dalam menghadapi madu yang beragam tingkat pendidikan, strata sosial, dan latar belakang budaya, maka para dai memerlukan hikmah, sehingga ajaran Islam yang disampaikan bisa memasuki ruang hati madu dengan baik.
Dalam kegiatan dakwah, metode hikmah muncul dalam berbagai macam bentuk, yaitu (Abdullah, 1978) :

Mengenal Strata Madu
Salah satu makna hikmah dalam berdakwah adalah menempatkan manusia sesuai dengan kadar mereka masing-masing. Di saat terjun dalam sebuah komunitas, atau melakukan kontak dengan seorang madu dai yang baik harus mempelajari terlebih dahulu data riil tentang komunitas atau pribadi yang bersangkutan.
Dalam beberapa riwayat kita bisa menjumpai bagaimana pentingnya menggunakan cara dalam berkomunikasi dengan beragam manusia yang berbeda-beda kadar kemampuan antara lain :
Riwayat yang bersumber dari Aisyah, beliau berkata
Rasulullah memerintahkan kepada kami untuk menempatkan manusia sesuai dengan kedudukannya (Al-Naisaburi, 2001)
Juga dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, bahwasanya Nabi Saw bersabda :
Kami para Nabi diperintahkan untuk menempatkan manusia sesuai dengan kedudukan mereka dan berbicara dengan mereka sesuai dengan tingkat pemukiran akal mereka . (Al-Abadi, 2001)

Ketika mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman, Rasulullah membekali beliau dengan cara berdakwah dengan memperkenalkan madu dan langkah-langkah dakwah, Rasulullah Saw bersabda yang artinya :
Rasulullah berkata kepada Muadz bin Jabal ketika beliau mengutusnya ke Yaman : Sesungguhnya engkau akan mendatangi negeri yang penduduknya Ahli Kitab. Jika kamu telah sampai ke sana, dakwahlah mereka untuk mengikrarkan kalimat syahadat. Jika mereka merespons dakwahmu, maka sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka mentaati perintah ini, sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka zakat yang diambil dari orang kaya untuk didistribusikan kepada orang miskin di antara mereka. Jika mereka mentaati perintah ini, maka berhati-hatilah dengan harta-harta berharga mereka, dan berhati-hatilah dengan doa orang yang terzalimi, karena doa mereka tidak berhijab untuk sampai kepada Allah (Al-Naisaburi, 2001).

Kapan harus bicara dan kapan harus diam
Sesuatu yang juga tidak bisa diabaikan dalam berdakwah dan yang menentukan keberhasilan berdakwah adalah kemampuan memilih waktu, kapan harus bicara dan kapan harus diam. Ada saatnya diamnya dai menjadi efektif dan berbicara justru akan membawa bencana, tetapi di saat yang lain terjadi sebaliknya, diamnya akan mendatangkan bahaya dan berbicara mendatangkan hasil yang gemilang.
Pada permulaan risalah, setelah wahyu yang memerintahkan agar beliau memberi peringatan kepada kerabat terdekat beliau Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat . Maka beliau mengundang anggota keluarganya untuk jamuan makan di rumah beliau. Yang hadir saat itu ada kira-kira 40 orang. Salah satu di antara yang hadir adalah paman beliau, Abu Lahab. Setelah usai makan, Rasulullah Saw bersiap-siap hendak menyampaikan risalahnya, akan tetapi Abu Lahab memotong terlebih dahulu. Dia berdiri dan berkata dengan suara lantang dan penuh nafsu dengan gerakan tangan yang mengancam dimulainya dengan mengkonfrontasikan Muhammad Saw dengan anggota keluarga yang hadir, seperti menghadapkan seorang yang tertangkap ke hadapan pengadilan sebagai pesakitan yang dituduh. Ia menyuruh Nabi untuk berbicara mengakui kesalahan dan agar beliau menarik kembali ajaran beliau, yang menurut Abu Lahab, menyeleweng dari agama Neneng Moyang. Menghadapi kondisi yang demikian, Rasulullah Saw sebagai tuan rumah mampu mengendalikan diri serta menjaga martabatnya dengan tidak membalas dan bersikap diam.
Meskipun saat itu belum diketahui keberpihakan anggota keluarga terhadap beliau, akan tetapi dengan sikap diamnya tersebut Rasulullah Saw telah memperoleh kemenangan moral atas pamannya Abu Lahab. Suasana demikian tidak disia-siakan begitu saja Rasulullah Saw. Selang beberapa hari Rasulullah Saw kembali mengundang mereka dalam jamuan makan sekali lagi. Selesai makan, segera bangun dan angkat bicara untuk menjelaskan risalahnya. Seketika itu pula beliau mendapat dukungan dari pamannya Abu Thalib.
Dari cerita tersebut, kita bisa mengambil pelajaran dari teladan kapan kita mesti berbicara dalam dakwah dan kapan mesti diam. Diamnya Nabi tersebut bukanlah karena Nabi tidak mampu menjawab atau takut, tapi untuk menghindari konfrontasi sebagai pembawa risalah dan agar beliau memperoleh hasil yang maksimal dalam risalahnya.
Mencari titik temu
Dakwah adalah mengajak manusia ke jalan Allah. Karena itu ia sifatnya mengajak. Dalam mengajak tentunya tidak boleh dengan memaksa, dan sebisa mungkin harus menghindari konfrontasi yang pada akhirnya justru akan merusak arti dakwah itu sendiri. Namun, usaha tersebut tidaklah mudah, mengingat banyaknya perbedaan-perbedaan nilai dan cara yang ada dalam masyarakat, sebagai obyek dakwah. Dalam keadaan demikian, seorang pembawa dakwah dituntut mampu mencari titik temu di antara perbedaan-perbedaan yang ada, untuk kemudian dijadikan sebagai landasan dalam melakukan aktifitas selanjutnya.
Seruan untuk mencari titik temu dan dakwah, tersebut dalam firman Allah Swt :
Artinya :Wahai ahli kitab marilah menuju kalimat yang sama antara kami dan kamu, yaitu janganlah kita menyembah melainkan Allah dan janganlah kita menyekutukan sesuatu apapun dengan Dia, dan janganlah sebagian dari kita menjadikan sebagian yang lainnya sebagai Tuhan-tuhan selain Allah. Dan kalau mereka berpaling, maka katakanlah : Saksikanlah bahwa kamu adalah orang-orang yang berserah diri.(QS. Ali Imran (3) : 64

Dalam kaitan ini terdapat banyak contoh mencari kalimatun sawa dalam berdakwah yang dapat kita jumpai dalam peri kehidupan Rasul dan para sahabat, antara lain : kontak Rasulullah Saw dengan Kaisar Najasyi. Ketika Kaisar Najasyi bertanya kepada utusan Rasulullah Saw, Jafar bin Abi Thalib, yang memimpin rombongan kaum muslimin hijrah ke Habasyah, Apakah ada padamu sesuatu yang dibawakannya (Nabi Muhammad Saw) dari Allah ? Ketika itu, Jafar menjawab dengan memilih ayat-ayat yang tepat, yaitu beberapa ayat dari surat Maryam yang berkaitan dengan pembersihan Maryam dan Nabi Isa dari tudingan orang Yahudi yang mencemarkan nama mereka. Mendengar ayat-ayat tersebut, Kaisar Najasyi menangis lalu berkata : Sesungguhnya ini adalah apa yang juga telah dibawakan oleh Nabi Isa, terbit dari suatu cahaya yang satu (Nashir, 1981).
Jawaban yang diberikan oleh Jafar tersebut telah melahirkan kalimatun sawa yaitu pemahaman tentang Maryam dan Nabi Isa. Karena dimulai dari persamaan inilah terjadi kontak dakwah yang relevan dengan kondisi madu yang memang beragam Nasrani dan memahami ajaran Nabi Isa.
Toleran tanpa harus kihilangan shibghah
Toleran atau tasamuh menurut arti bahasa adalah sama-sama berlaku baik, lemah lembut, saling memaafkan (toleransi). Sementara dalam pengertian umum adalah suatu sikap akhlaq terpuji dalam pergaulan di masa rasa saling menghargai antara sesama manusia dalam batas-batas yang telah digariskan Islam. Islam memandang adanya perbedaan keyakinan atau pendapat adalah sunnatullah. Perbedaan merupakan fenomena yang telah lahir dan akan terus berkelanjutan. Hal ini juga akan dapat menjadi rahmat apabila masing-masing saling menghormati keyakinan dan dapat saling memberikan yang terbaik bagi kehidupan.
Terdapat banyak ayat Al-Quran yang menegaskan adanya perbedaan, seperti firman-Nya :
Artinya : Jika Tuhan menghendaki, tentu bisa saja manusia itu menjadi umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. (QS. Hud (11) : 118-119 :

Maka dengan keberagaman itu memberikan kesempatan kepada manusia untuk menguji keimanan yang dipilihnya. Kemerdekaan di dalam keyakinan dalam ajaran Islam menjadi prinsip seperti yang tertera dalam firman Allah Swt.
Artinya :Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dan jalan yang sesat. (QS. Al-Baqarah (2) : 256

5. Memilih kata yang tepat
Term yang digunakan Al-Quran untuk perintah memilih kata yang tepat dalam berdakwah adalah dengan term qaulan sadidan yang disebut dalam Al-Quran :
Artinya : Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (QS. Al-Nisa ayat (4) : 9)

Stressing pembicaraan pada ayat tersebut adalah mengenai hukum waris. firman Allah Swt
Artinya :Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar. (QS. Al-Ahzab (33) :70-71

Sadid menurut bahasa berarti benar dan tepat. Al-Qasyani menafsirkan qaulan sadidan dengan kata yang lurus (qawiman), kata yang benar (haqqan) kata yang betul, tepat (shawaban). Lebih lanjut Al-Qasyani menyimpulan : Sadad dalam pembicaraan ialah berbicara dengan kejujuran dan dengan kebenaran ; di situlah terletak unsur segala kebahagian, dan pangkal segala kesempurnaan, karena yang demikian itu berasal dari kemurnian hati (Nashir, 1981).
Berkaitan dengan surat Al-Nisa ayat 9, Al-Zamakhsyari menafsirkan qaulan sadidan dengan memberikan contoh tentang bagaimana yang disebut qaulan sadidan dari orang-orang yang telah menerima washiyat untuk memelihara harta anak-anak yatim, yaitu mereka akan melukai hati anak-anak mereka sendiri, dengan adab yang baik dan hati yang terbuka, ramah tamah.
Dari kedua penafsiran di atas, qaulan sadidan dalam berdakwah ialah penggunaan kata yang lurus tidak berbelit-belit, kata yang benar, yang keluar dari hati yang suci bersih, dan diucapkan dengan cara yang lembut, indah dan santun, sehingga tepat mengenai sasaran yang dituju dan panggilan dakwah dapat sampai mengetuk pintu akal dan hati mereka yang dihadapi. Sehingga pada akhirnya kegiatan dakwah menjadi efektif dan efisien.
Contoh konkrit dakwah Al-Quran yang bernuasa qaulan sadidan adalah mengenai minuman keras dan perjudian. Di mana pada permulaan, Al-Quran memberikan penjelasan tentang khamar dan judi dengan sedemikian jelas dan menarik, dengan penjelasan tentang manfaat dan madharat yang terdapat di dalamnya. Firman Allah :
Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ” yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir, (QS. Al-Baqarah (2) : 219).

Kemudian berangsur melarang secara terbatas (QS. Al-Nisa (4) : 42), sebelum akhirnya turun ayat Al-Quran yang melarang dengan tegas khamar dan judi, karena keduanya merupakan perbuatan setan. (QS. Al-Maidah (5) 90-91).
6. Cara Berpisah
Di atas telah disebutkan, bahwa di antara arti hikmah adalah kemampuan dalam mencari titik temu di antara perbedaan-perbedaan dan bersikap tasamuh tanpa kehilangan shibghah (warna atau agama) yang diyakini. Tidak hanya itu, termasuk hikmah adalah cara dalam perpisahan. Ketika dakwah mengalami kebuntuan total, ketika pertukaran pikiran dalam usaha mencari titik temu tidak bisa diusahakan lagi dan justru kontra produktif, maka seorang dai tidak boleh larut dan terseret oleh keadaan demikian sehingga menguras tenaganya, ia harus mengakhiri dakwah tersebut dengan cara yang baik sebagaimana ia memulainya.
Dalam keadaan demikian, Al-Quran memberikan tuntutan kepada kita bagaimana seharusnya kita mengakhiri dakwah :
Artinya : Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas kepada jiwa mereka.(QS. An Nisa(4) : 63)

Juga dalam firman Allah :
Artinya : Berteguh hatilah kamu tentang apa-apa yang mereka katakana, dan berpisahlah kamu dari mereka dengan perpisahan yang baik.(QS. Al-Muzzammil(73) : 10)

Pada kedua ayat di atas, Allah mengajarkan hikmah bagaimana perpisahan dengan komunitas itu dapat meninggalkan kesan panjang yang membuat mereka akhirnya mau menerima dakwah di kemudian hari.
Uswatun Hasanah atau Lisan Al-Hal
Dakwah dengan uswatun hasanah atau lisan al-hal adalah dakwah dengan memberikan contoh yang baik melalui perbuatan nyata. Bahkan dakwah dengan metode uswatun hasanah dan lisan al-hal adalah salah satu kunci sukses dakwah Rasulullah Saw. Salah satu contoh adalah pertama kali tiba di Madinah, yang pertama kali dilakukan beliau adalah membangun masjid Quba, mempersatukan kaum Anshar dan Muhajirin dalam ikatan Ukhuwah Islamiyah.
Keteladanan yang aplikatif mempunyai pengaruh yang besar dan sangat kuat dalam penyebaran prinsip dan fikih. Sebab, ia merupakan kristalisasi dan wujud konkrit dari prinsip dan fikrah tersebut. Ia bisa dilihat dengan jelas, dicontoh, dan diikuti. Berbeda dengan kata-kata dan ceramah atau tulisan, bisa jadi sebagian pendengar dan pembaca tidak memahami itu semua, bahkan tidak mengerti maksud dan tujuannya. Terkadang sebagian atau seluruhnya dilupakan. Dan kadang ia hanya menjadi sebuah teori belaka, sedang sebagian besar tidak mengerti penerapannya. Sehingga dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keteladanan adalah unsur terpenting yang harus direalisasikan dalam perjalanan dakwah. (Team Penulis Rahmat Semesta, 2003).

C. Kesimpulan
Dari uraian di atas, secara singkat dapat disimpulkan bahwa dalam dunia dakwah, hikmah adalah penentu bagi sukses atau tidaknya sebuah kegiatan dakwah. Dakwah dengan metode bil-hikmah memiliki cakupan makna yang luas, ia tidak saja hanya mengenal strata madu, akan tetapi juga bila harus bicara, bila harus diam. Hikmah juga bukan hanya mencari titik temu, akan tetapi juga sikap toleran yang tanpa menghilangkan shibghah. Ia juga bukan hanya dalam konteks memilih kata yang tepat, namun juga cara berpisah yang baik, dan akhirnya juga bahwa hikmah adalah uswatun hasanah serta lisan al-hal.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *