EMPAT tahun telah berlalu sejak pertama kali aku meginjakkan kaki di Jakarta. Kota ini telah menjadi saksi dari perjuanganku, bersama deretan masjid dan mushola yang kini menjadi rumah keduaku. Mengajar mengaji anak-anak di berbagai sudut Jakarta, Tangerang, Depok, hingga ke Jakarta Selatan sudah menjadi bagian dari ritme harian.
Tak ada jarak yang terlalu jauh, apalagi setelah aku memberanikan diri membeli Vespa tua keluaran tahun 1962. Vespa itu adalah sahabat setia, temanku menaklukkan jalanan Jakarta, dari satu pengajian ke pengajian lain.
Senin dan Kamis, Vespa membawaku ke komplek Bulog Rawasari. Selasa dan Sabtu, menyusuri jalan Cinere dan Blok R Kebayoran Baru. Rabu malam, setelah Maghrib, aku melaju ke Ciledug, Tangerang, dan sehabis Isya, Vespa setia menemaniku ke perumahan DKI Larangan Indah.
Biasanya, aku baru tiba di rumah di Jalan Gongseng Raya, Cijantung, saat malam sudah menyapa dini hari—sekitar pukul 00.00 atau 01.00.
Namun, malam itu berbeda. Setelah selesai mengajar di Larangan Indah, dengan tubuh letih namun hati puas, aku melaju pulang. Ketika tiba di pertigaan Jalan Raya Bogor, menuju komplek Kopassus, Vespa yang selama ini setia tiba-tiba mengeluh. Sebuah paku tajam menusuk bannya, membuatnya terhenti di tengah jalan.
Malam semakin larut, jalanan semakin sepi, dan tak ada tukang tambal ban yang terlihat. Vespa tua ini, meskipun kuat, tidak bisa didorong begitu saja ketika bannya bocor. Satu-satunya pilihan adalah membuka bannya, sesuatu yang tentu saja tak mungkin kulakukan di tengah malam seperti ini.
Tempat penitipan motor sudah tutup, dan aku tak mungkin meninggalkan Vespa ini begitu saja—takut ia diambil orang. Namun, untuk mendorongnya? Oh, sungguh, itu hampir mustahil.
Tapi aku tak punya pilihan lain. Dengan nafas yang sudah tersengal-sengal, aku memaksakan diri mendorong Vespa. Jalanan terasa semakin panjang dan setiap meter seolah menambah beban di pundakku. Kerongkonganku kering, tubuhku semakin lelah.
Lima kilometer terasa seperti sebuah maraton yang tiada akhir. Hari sudah mendekati pukul 01.30, dan sekelilingku sunyi senyap. Tak ada orang yang bisa kumintai tolong.
Kusadari jalur yang kulalui takkan membawaku cepat sampai. Akhirnya, kuambil jalan pintas. Jalan itu lebih menanjak, tak beraspal, dan penuh bebatuan, tapi lebih dekat ke rumah.
Setiap langkah semakin berat, setiap dorongan terasa menyesakkan. Jalan berkelok seperti menantangku untuk menyerah. “Ayo, kau pasti bisa!” rasanya Vespa pun ikut berbicara, menantangku untuk tetap teguh.
Ketika akhirnya aku sampai di lingkungan RT tempatku tinggal, tubuhku sudah benar-benar kelelahan. Setiap otot terasa seperti berteriak minta istirahat. Dan kemudian, di depan sebuah rumah, kakiku tersandung. Mata mulai berkunang-kunang.
“Gubrak!” Tubuhku dan Vespa jatuh bersamaan, menghantam tanah dengan suara yang cukup keras. Suara jatuh itu memancing gonggongan keras dari anjing yang tinggal di rumah tersebut. Anjing itu menggonggong tanpa henti, seakan-akan mencoba membangunkanku dari pingsanku.
Sontak saja, pemilik rumah, Pak Slamet Siswoyo, terbangun oleh kegaduhan itu. Ia keluar, mendapati aku terbaring tak sadarkan diri di samping Vespa tua yang kini terbaring lelah di sisiku. Pak Slamet mengenaliku, mungkin karena kami satu RT, dan ia sering melihatku aktif di arisan warga.
Ia segera mengambil air, menyiramkan perlahan ke wajahku, berusaha membangunkanku dari pingsan. Tak lama, para tetangga mulai berdatangan. Mereka melihatku, terbaring tak berdaya di tengah malam.
Ketika akhirnya aku siuman, aku disambut oleh kekhawatiran yang jelas tergambar di wajah istri dan para tetangga. Ketua RT, dengan nada tenang, menuntunku pulang, sementara tetangga mengawalku perlahan menuju kontrakan. Istriku terkejut melihat kondisiku, tetapi Ketua RT buru-buru menjelaskan apa yang terjadi.
“Bapak akan sehat kembali setelah istirahat,” ucapnya, menenangkan istri.
Malam itu, aku belajar bahwa semangat tak bisa dibeli, dan kelelahan adalah harga yang harus dibayar. Vespa tua yang setia, walaupun tak sempurna, tetap membawaku sampai di rumah dengan segala tantangannya. Vespa itu bukan sekadar kendaraan, ia adalah simbol dari setiap perjalanan yang aku hadapi dalam hidup—kadang berat, kadang sulit, tapi tak pernah berhenti.( Imran Nasution)