MENJELANG Pemilu 2024 aktivitas politik di dunia digital kian meningkat. Pemilu 2024 juga berpotensi menjadi panggung kembalinya para propagandis politik (Buzzer) yang telah muncul sejak dekade lalu. Dengan kedok kebebasan berpendapat, mereka menggunakan akun anonim untuk menyebar hoax (disinformasi) yang memecah belah masyarakat.
Meski hoaks sudah ada sejak dahulu kala, namun penyebarannya di Indonesia baru memperoleh momentum pada pemilihan presiden (Pilpres) 2014 dan pemilihan kepala daerah DKI Jakarta tahun 2017 (Baca, 2019). Sehingga hoaks berpotensi meraja lela di momentum Pemilu 2024 nanti, yang tentunya akan mengganggu dan berakibat fatal terhadap proses penyelenggaraan pemilu yang demokratis.
Dalam pemilu hoaks sering kali digunakan untuk menjatuhkan rival politik peserta Pemilu lainnya. Sebaliknya, hoaks juga digunakan untuk mengunggulkan salah satu calon peserta Pemilu untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Hoaks ini cenderung sengaja disebarluaskan oleh propagandis politik (Buzzer) di tengah masa-masa kampanye.
Penyebaran hoaks (disinformasi) yang dilakukan buzzer dapat diancam dengan aturan hukum. Beberapa ketentuan undang-undang yang mengatur hal tersebut diantaranya adalah Pasal 280 UU Pemilu tentang larangan-larangan dalam berkampanye; Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tentang penghinaan, dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang penyebaran kebencian terhadap suku, agama, ras, dan antar golongan.
Namun, penerapan ketentuan-ketentuan tersebut cukup sulit diberlakukan terhadap para Buzzer, karena mereka umumnya menggunakan identitas anonim dalam menjalankan aksesnya sehingga sulit untuk dilacak.
Selain itu, hoaks dapat menjebak masyarakat dikarenakan misinformasi terhadap informasi yang diterimanya, sehingga informasi yang tidak benar tetap mereka sebarkan lantaran tidak tahu terhadap kebenaran informasi tersebut.
Melihat fakta tersebut dan meningkatnya hoaks (misinformasi dan disinformasi) selama proses penyelenggaraan Pemilu 2024, kerjasama multiforum sangatlah dibutuhkan dalam mengahadapi isu ini, khususnya kalangan kaum muda.
Upaya paling penting dalam menghadapi isu ini adalah peningkatan literasi digital masyarakat, khususnya kaum muda. Pemerintah, penyelenggara Pemilu dan masyarakat sipil berperan penting dalam menanggulangi penyebaran hoaks di masyarakat khususnya kaum muda.
Menjelang Pemilihan Umum 2024, sosial media juga berpotensi menjadi sarana penyebaran hoaks (misinformasi dan disinformasi) yang dapat merusak kerukunan masyarakat Indonesia. Namun, potensi tersebut akan dapat diatasi apabila ada kerja sama yang baik antarelemen masyarakat, kerja sama yang baik antara penyelenggara pemilu dengan pemerintah khususnya kominfo agar dapat melakukan takedown terhadap berita ataupun konten yang berisi hoaks sehingga dapat menciptakan pemilihan umum yang damai dan demokrasi yang berkualitas.
(Mahmud Ali, Pegiat Pemilu dan Demokrasi)