ADA kenangan pilu yang tak mungkin bisa kulupakan. Ketika itu, Selasa pagi, hari masih gelap. Omak (mama)-ku jatuh dan hanyut di sungai yang cukup deras. Karena jembatan yang terbuat dari kayu yang dilewati mama ambruk, disebabkan jembatan tak kuat menahan beban yang berat.
Pada pagi itu, mama berangkat ke pekan di Desa Tanjung, untuk jualan daun singkong dan cabe rawit. Jaraknya dari kampung kami sekitar 5 Km.
Seperti biasanya, setelah seharian kami memetik daun singkong dan cabe rawit, malam harinya kami sibuk mengikat daung singkong tersebut. Satu ikatan sebesar pergelangan orang dewasa. Setiap panen minimal ada 700 ikatan.
Biasanya untuk 700 ikatan itu dibawa tiga orang dari kebun kami di Halotan, yaitu ayah, abang Husni dan aku sendiri. Sedangkan untuk cabe rawit dibawa omak dalam kantong haronduk. Daun singkong sebanyak itu dipikul mamak sendirian ke pekan. Nyaris tak terlihat lagi kepala mamak karena terlalu besarnya pikulannya.
Sehabis shalat subuh, mamak membawa 700 ikat daun singkong dengan cara dijunjung di atas kepala. Untuk mengangkatnya butuh bantuan dua orang. Mamak membawa daun singkong itu berjalan kaki melewati jalan setapak berbatu, bahkan menyeberangi sungai Barumun yang arusnya deras.
Biasanya kalau air lagi naik karena hujan di hulu Ulu Barumun, sungai itu tak bisa dilewati. Saat itu belum ada jembatan. Karena memang sulit membangun jembatan, sebab sungainya pindah-pindah setiap banjir.
Sepintas aku tak percaya kalau mamak sekuat itu. Karena jalan yang harus dilalui sampai ke pekan di Desa Tanjung cukup sulit dan berat. Dan membawa beban saja kita sudah sangat sulit untuk melewati jalan tersebut.
Selain jalannya kecil berbatu dan berair juga harus melewati sebuah jembatan yang terbuat dari pohon kayu yang diikat. Jembatan itu berada di dekat pemandian wanita 500 meter sebelum Desa Tanjung. Dari pemandian itu jalannya masih menanjak baru sampai ke Pasar Tanjung.
Hari itu, setelah mamak berhasil melalui jalan setapak berbatu yang amat sulit untuk dilalui. Kemudian menyeberangi sungai Barumun yang arusnya deras dengan beban yang begitu berat, kini mamak harus melewat jembatan penyeberang untuk melewati anak Sungai Barumun yang ada jembatan penyeberangan. Ketika mamak sudah berada di tengah jembatan, tiba-tiba…..
Braak…buuur…
Jembatan kayu itu patah. Mamak jatuh ke sungai hanyut bersama daun singkong dan cabe rawit yang akan dijual. Ibu-ibu yang sedang mandi di pemandian itu kaget dan melihat mamak sedang berjuang untuk menyelamatkan diri dari derasnya arus sungai. Ia nyaris tenggelam, sudah megap-megap. Untung ibu-ibu yang sedang mandi langsung berlarian untuk memberikan petolongan.
Mamak diselamatkan dan diangkat dari sungai, lalu dibopong rame-rame. Kemudian diantarkan ke rumah kakak kandung mamak yang tinggal di Desa Tanjung. Sementara daun singkong dan cabe hanyut dibawa arus air, hanya sedikit yang bisa terselamatkan warga.
Empat jam setelah peristiwa jatuhnya mamak ke sungai, baru kami dapat kabar dari orang yang baru pulang dari pekan Tanjung. Mendengarkan kabar yang memilukan itu, kami anak-anaknya menangis. Dan datang ke Desa Tanjung untuk menjemputnya.
Setiap aku mengingat kejadian itu aku menangis. Mamak kau adalah wanita perkasa. Kau korbankan kebahagiaanmu untuk mencurahkan kasih sayangmu kepada kami anak-anakmu. Mamak, aku rindu padamu. Masih terngiang di telingaku ketika kau bacakan buku cerita nasib dua orang bersaudara Soriani si Somadun anak yatim piatu yang ditinggalkan ayahnya sewaktu mereka masih kecil. Setiap kau membacakan buku itu untuk pengantar tidur kami, kau juga menanagis.
Ya Allah, ampuni dosa kedua orang tua kami. Tempatkan mereka di surgaMu Jannatun Na’im. (Imran Nasution)