Titip Rindu Buat Ayah, Cari Kayu ke Hutan Pedalaman Tapi Shalat tak Pernah Tinggal

Umum448 Dilihat

Bahumu yang dulu kekar, legam terbakar matahari, kini kurus dan bungkuk…” potongan bait lagu Ebit G Ade, dengan judul ‘Titip Rindu buat Ayah’ membuat batinku mengembara ke sudut-sudut kehidupan. Ayahku telah menjadi inspirasi bagi anak-anaknya untuk meretas jalan kehidupan.

Ayahku, panutanku, hadir dalam visual imajinasiku seakan ia hidup kembali dan hadir di hadapanku manakala Ebit G Ade melantunkan lagunya itu.

Hal yang tak terlupakan adalah saat ia menasihati kami. Mencari momen yang baik. Biasanya nasihat itu ia sampaikan ketika kami disuruhnya untuk memijit kakinya. Kecapean karena seharian berjalan di hutan. Mencari pohon kayu yang bagus untuk dibuat papan.

Pekerjaan itu biasa dilakukan ayah. Ketika ada yang memesan papan untuk membangun rumah. Rata-rata rumah di kampung kami adalah rumah panggung. Terbuat dari kayu papan. Baik tiang, dinding, lantai, jendela dan pintu. Satu dua rumah ada setengah beton. Atasnya tetap menggunakan papan. Biasanya sang pemilik adalah ekonominya lebih baik dari yang lain.

Suatu hari ayah mendapat pesanan. Membuat papan dan balok, untuk bahan bangunan rumah. Untuk memenuhi pesanan itu, ayah tak sendirian. Paling sedikit tiga orang yang bekerja. Sebab pembuatannya masih tradisional. Menggunakan gergaji. Yang penggunaanya tidak bisa dilakukan oleh satu orang.

Papan dibuat setelah pohon dipotong jadi balok sesuai ukuran yang diinginkan. Balok kayu itu angkat ke atas panggung darurat. Lalu dibuat garis, sesuai tebalnya papan. Kemudian digergaji dengan cara satu orang di atas satu orang dibawah panggung. Ketika orang yang di atas menarik gergaji, maka yang dibawah membantu mendorong gergaji.

Begitu juga sebaliknya. Terus digergaji hingga jadi papan, balok, reng dan lain-lain. Saat itu belum ada senso. Sepenuhnya menggunakan tenaga.

Ayah mengajak temannya mencari kayu ke hutan. Untuk mendapatkan kayu yang bagus, terkadang mereka harus menelusuri hutan belantara di daerah Bukit Barisan. Bahkan tak jarang mereka sampai ke perbatasan Mandailing. Ada jenis kayu tertentu yang bagus untuk papan seperti kayu maranti, lagan, kampar, mahoni dan ulin.

Jika beruntung, mereka bisa menemukan pohon kayu jenis maranti, kampar dan ulin dalam satu lokasi yang berdekatan. Setelah itu ayah bersama temannya membangun panglong tempat pengergajian. Itu bisa berlangsung beberapa bulan.

Suatu pagi, aku lihat mamak sedang menyiapkan nasi yang dibungkus dengan daun pisang. Disiapkan juga lauk alakadarnya. Kemudian dimasukkan ke haronduk (sebuah kantong terbuat dari anyaman daun pandan). Ayah mengambil haronduk lalu berangkat menemui temannya. Berangkat ke hutan mencari kayu untuk dijadikan papan dan balok. Biasanya mereka balik ke rumah ketika hari sudah malam.

Hari pertama, kedua dan ketiga belum dapat apa-apa. Kalau sudah menemukan pohon kayu yang dimaksud setelah empat hari baru ayah pulang dengan memanggul papan di bahunya. Jika sudah berjalan dua pekan biasanya tumpukan papan di belakang rumah kami mulai banyak.

Pas hari pekan biasanya akan datang petugas dari kementerian kehutanan kecamatan Sosopan untuk memeriksa tumpukan papan tersebut. Setelah dicek kemudian distempel, baru bisa digunakan. Tentu ayah bersama teman-temannya harus membayar semacam pajak hasil hutan namanya.

Nah, kalau ayah sudah dapat order membuat papan dan kayu, ada pekerjaan rutin yang diberikan kepada kami anak-anaknya. Saya dan abang Husni. Yaitu memijit-mijit kaki ayah, untuk sekadar menghilangkan pegal-pegal dan rasa lelah.

Agar kami betah dan malah senang untuk memijit-mijit kaki, ayah suka bercerita dongeng yang sangat menghibur sekaligus mendidik. Ada sejumlah judul dongeng (cerita) yang masih saya ingat diantaranya si Gundur Bilelo, si Kulap, Bisuk Naoto, Kurinci. Dalam satu cerita tidak habis dalam satu malam. Bisa bersambung sampai bermalam-malam. Ceritanya panjang-panjang dan tidak membosankan.

Kesan yang aku ingat, saat memijit-mijit ayah adalah bahunya yang kekar dan keras. Boleh jadi bahu ayah begitu keras dan kekar karena setiap hari mamanggul papan di pundaknya. Melewati jalan setapak.

Terkadang sangat terjal. Menurun dan licin. Papan tak pernah lepas dari bahunya, kecuali saat istirahat. Untuk sampai ke rumah ayah harus menempuh perjalanan berpuluh-puluh kilometer jauhnya dari pegunungan tempat penggergajian mereka.

Ketika Ebit G Ade melantunkan lagu Titip Rindu buat Ayah, sering membuat aku menangis. Terbayang sosok ayah yang berjuang keras untuk membesarkan dan menyekolahkan kami. Dan yang paling penting ia telah mengajari kami anak-anaknya arti penting kehidupan yang tak kami temukan di sekolah.

Ada satu kebiasaan yang yang memberi pelajaran bermakna dalam kehidupan kami yaitu, aku tak pernah melihat ayah meninggalkan shalat sesulit apapun. Kalau pas lagi di hutan ia selalu membawa air untuk berwudu’ selain untuk minum. Kalau sudah masuk waktu shalat, dia berwudhu dari air yang tersedia di jerigen.

Kemudian memperhatikan arah matahari untuk menentukan kiblat. Lalu dibersihkannya lahan, mengambil daun-daun yang sudah kering untuk dijadikan sajadah. Kalau sedang di rumah, ia selalu berzikir setiap selesai shalat.

Ayah itu memang buta hurup latin, tapi ia mahir membaca kitab arab melayu. Ia sempat berguru pada Fakih Usman. Sikap taat melaksanakan kewajiban untuk melaksanakan shalat, dan membaca Al Qur’an, salah satu sikap positif yang diwariskannya kepada kami anak-anaknya. Mudah-mudahan Allah mengampuni dosanya dan memasukannya ke dalam surga jannatunnaim. (Imran Nasution)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *