SALAH seorang petugas haji daerah (PHD) asal Kota Bekasi Nurhakim merasa keberatan dengan kebijakan Pemerintah Kota Bekasi yang meminta uang sebesar Rp30 juta per orang untuk bertugas mengawal jemaah dari pergi hingga pulang.
“Saya lulus seleksi petugas haji daerah nomor 251. Tapi setelah lulus diminta bayar uang tambahan Rp30 juta setiap orang oleh Pemda Kota Bekasi, yaitu oleh Kabag Kesos. Yang lulus dari Kota Bekasi ada delapan orang, semuanya diminta per orang uang Rp30 juta. Saya lebih memilih mundur gak mau bayar Rp30 juta,” tegasnya Nurhakim yang juga sekretaris MUI Kota Bekasi.
Menurutnya, tentu hal ini sangat disayangkan. Sebab kalau infonya sejak pertama ikut pendaftaran ada uang pembayaran tambahan Rp30 juta sebagai petugas haji daerah, tentu dia tidak akan ikut seleksi. Sebab, biaya yang sebenarnya ditanggung pemerintah.
“Berbeda dengan daerah lain, setelah lulus seleksi mereka tidak diminta uang pembayaran lagi. Padahal, ketika tes kan udah mengeluarkan biaya tes ke asrama haji Indramayu. Belum lagi buat SKCK, kartu sehat, surat bebas narkotika dari rumah sakit, itu mengeluarkan biaya semuanya,” katanya lagi.
Yang jadi pertanyaan Nurhakim, kenapa PHD asal Kota Bekasi diperkenankan berangkat setelah menunaikan pembayaran Rp30 juta. “PHD bisa berangkat kalau mau bayar Rp30 juta. Ini khusus di Kota Bekasi yang minta uang tambahan itu Pemda Kota Bekasi,” tandanya.
Nurhakim menjelaskan bahwa pada 2020 lalu juga petugas haji dipungut per orang juga Rp8 juta. Sebanyak delapanĀ orang. Nyatanya, hingga sekarang uangnya belum dikembalikan dan mereka juga belum berangkat hingga tahun ini.
“Sebagian akan berangkat tahun ini dan tetap dipungut lagi Rp30 juta. Padahal pungutan uang petugas tahun 2020 gak tahu uangnya kemana, sekarang 30 juta x 7 ditambah lagi Rp8 juta, sudah berapa tuh?” tanyanya. (zas)