DI celah celah pohon yang satu dengan yang lainnya tumbuh arsam sejenis pakis. Dan hutan arsam itu menghalangi padangan kita dengan pohon karet yg akan kita sadap. Jalan setapak di kelilingi arsam dan pohon pohon liar.
Semak arsam ini sangat digemari babi hutan untuk membuat sarang dan tempat beranak.
Biasa di sekitar sarang babi banyak tampiras. Tampiras sejenis kutu warna abu abu, sering nempel di tubuh babi, biasa juga disebut kutu babi.
Tampiras itu banyak nempel di dedaunan. Jika tersentuh ia akan langsung loncat dan menjalar di seluruh tubuh kita.
Celakanya, jika tampiras sudah nempel di tubuh kita susah dilepas. Lebih baik kepalanya putus daripada lepas dari badan kita. Ia juga menyenangi tempat di alat vital kita. Jika ia gigit, bisa bengkak. Ini bisa jadi masalah tersendiri.
Sesampainya aku di kebun karet yang akan aku sadap, aku mengambil pisau guris. Aku mulai menyadap dari satu batang ke batang lainnya, sambil bernyanyi.
Selain untuk menghibur diri, juga dimaksudkan agar hewan-hewan buas bisa menjauh dan bisa juga sebagai pemberitahuan bahwa kita ada di tengah hutan karet itu.
Saat itu lagu lagu yang sedang hit adalah lagu gubahan Ahmad Baki, pimpinan El Surayya seperti Suara Azan, Selimut Putih, Kina Balu, Panggilan Jihad gubahan Hamka, yang dilantunkan penyanyi Asnidar Darwis dan Kholidah Munasti.
Terkadang aku menangis sesunggukan, sambil menggoreskan pisau guris ke batang karet. Aku merenungi nasib. Aku juga sering mengetok tempurung tempat penampung getah saat selesai disadap.
Hari itu aku berhasil menyadap 700 batang. Usai menyadap aku buru buru pulang. Hari masih pukul 09.00. Aku harus masuk sekolah meski terlambat, sambil menunggu getah karet kering dan berhenti menetes.
Kesempatan itu aku gunakan untuk tetap bersekolah. Jangan tanya soal bau badan. Aku tak pernah mandi pake sabun wangi. Itu barang mewah yang tak mungkin mampir di rumah kami.
Celanaku yang terbuat dari keper hongkong, robek di kiri kanan bagian pantat. Dicelah jahitan celana menempel tusa jenis kutu yang menggigit badan. Boleh jadi tusa itu senang di celanaku karena jarang dicuci. Kalaupun di cuci bukan dengan sabun tapi tambingke sejenis buah yang bisa mengeluarkan busa kalau kena air.
Seusai sekolah, aku kembali ke ladang untuk mengumpulkan getah yang aku sadap. Saya mengumpulkan getah itu dari satu pohon ke pohon yang lain.
Sebagian dari karet yang aku sadap berada di lereng bukit dengan kemiringan 150 derajat. Jalannya dibuat zigzak untuk memudahkan penyadapan.
Ketika aku mengumpulkan getah di lereng yang jalannya lincin. Aku terjerembab. Kaleng yang sudah berisi lebih separoh lepas dari tanganku, melesat ke atas. Getahnya timpah mengguyur tubuhku.
Aku berusaha berdiri dan kembali mengambil kaleng yang isinya sudah tumpah ke tanah setelah mengguyur tubuhku. Aku coba mengumpulkan getah yang tumpah dengan cara memeras tanah bercampur getah. Tapi sayang hanya sedikit yang bisa aku selamatkan. Aku menangis dan menangis karena hanya itu yang bisa kulakukan.
Padangan mataku mualai rabun. Karena rambut mataku menyatu lengket karena getah. Rambutku, tubuhku, penuh getah dan sudah mulai mengring.
Dengan susah payah aku pulang. Aku terus menangisi nasibku yang malang. Apa daya aku tak kuasa melawan takdir Allah. Hari ini aku belum beruntung. Aku belum bisa membawa hasil yang dapat membahagiakan orang tuaku.
Sesampainya aku di rumah, mamaku menangis dan terus menangis menyaksikan tubuhku dibalut getah. Mamaku mengambil minyak tanah di botol.
Sudah nak, mungkin Allah sedang menguji kita. Bersihkan diri ke sungai. Habis itu, kau makan, kata mana sambil air matanya tumpah menyaksikan nasib anaknya.
Aku berangkat ke sungai ulu aer. Di situ aku bersihkan diri dengan menggunakan minyak tanah, agar getah itu bisa mudah dibersihkan dari tubuhku.
Menjelang mata hari masuk keperaduannya, aku baru bisa pulang dari sungai. Meski waktu itu getah belum sepenuhnya bersih dari diriku. Karena getah itu benar benar sangat lengket di tubuhku. (Tamat/Imran Nasution)