HARI itu, aku menjalani rutinitas sebagai penjual koran di atas bus PPD. Begitu bus PPD 45 datang dari Blok M, merapat di terminal Cililitan, aku langsung berlari mengejar bus lalu melesat naik ke atas bus yang sudah kosong ditinggal penumpang.
Aku duduk di salah satu bangku paling belakang. Sejenak aku membaca koran. Tujuannya selain untuk menambah wawasan juga untuk propaganda saat menjual koran.
Satu persatu penumpang naik ke atas bus. Ketika bus sudah mulai penuh penumpang, supir secara perlahan menjalankan bus keluar dari terminal.
Aku berdiri dan berjalan menuju bangku paling depan, dan memberikan satu koran gratis ke supir sekalian minta ijin sama om supir untuk jual koran. Om supir manggut tanda aku boleh jual koran di busnya.
Aku mulai ngecap mengomentari isi koran hari itu agar menarik perhatian penumpang. Tentu targetnya agar penumpang mau beli koran dagangan aku.
” Seorang mayat misterius dalam sebuah karung, tanpa identitas, ditemukan lagi di pinggir jalan tol Jagorawi tadi pagi,” kataku mulai mengomentati koran jualanku.
Saat itu, di Jakarta sedang marak pembunuhan misterius dengan modus yang hampir sama yaitu mayat ditemukan terbungkus karung dan tanpa identitas.
Penumpang yang mendengar mulai memperhatikanku. Tapi ada juga yang cuek. Ada yang senyum- senyum. Aku sendiri tak tahu apa arti senyumnya itu. Semua sikap penumpang aku abaikan. Aku terus mengomentari koran yang aku jual.
Supir dan knek yang baik hati itu, selalu memberikan kesempatan kepada para penjual koran di atas bisnya. Tentu dengan bergantian. Sering dikasih koran tapi acap kali ditolak, bahkan kondekturnya malah bayar.
Usai mengomentari koran jualanku, aku mulai mendatangi penumpang untuk menawarkan koran langsung pada penumpang.
Tiba- tiba mataku tertuju pada seorang penumpang. Dari wajah, rambutnya yang kribo, aku sangat mengenalinya. Ia adalah temanku satu kelas di Fakultas Tarbiyah IAIN Padangsidempuan, namanya Gozali Nasution.
Langkahku terhenti. Mata kami beradu. Seakan aku tak percaya kalau ia adalah temanku satu kelas di fakultas Tarbiyah. Begitu aku sudah dekat aku sapa dia dengan hati yang remuk redam.
” Kau itu Gozali,” gumamku dengan hati yang tak percaya kalau ia adalah Gozali temanku satu kelas.
Dalam benakku muncul banyak pertanyaan, kapan dia datang ke Jakarta? Bagaimana dia ada di bus ini.
Aku terus membantin sambil berkata; ” Ya Allah kenapa Engkau pertemukan aku disaat aku jual koran di atas bus ini.Kenapa tidak kau pertemukan aku dengan dia dalam suasana senang. Di restoran misalnya, sedang makan.”
“Iya Gozali,” kataku.
Nasibku tak sebaik nasibmu. Rasanya dalam hidupku ini, kesusahan itu telah akrab dengan diriku.
“Aku tinggal di belakang MBAU, nanti turun sama-sama. Hari ini kau tak usah jualan. Koranmu kubeli semua,” katanya mengajak aku ikut ke rumahnya.
Hatiku tambah pilu. Mengapa derita ini tak mau berpisah denganku. Ya Allah Engkau tak akan membebani hambaMu di luar kemampuannya. Ya Allah kuatkan hatiku menghadapi ujian demi ujian ini. Pintaku membatin.
Tak lama kemudian kondektur bus, teriak ” MBAU, siap siap yang mau turun. Kasi jalan, geser geser,” kata kondektur.
Kami berdiri dengan susah payah. Akhirnya kami bisa keluar dari bus dan berjalan menelusuri jalan menuju rumah sahabatku itu.
Sesampainya di rumahnya Gozali memperkenalkan istrinya yang juga seorang guru. “Nasibmu jauh lebih baik dari Nasibku Gozali”. ujarku. (Imran Nasution)