JAKARTA, KORANBEKASI.ID – Presiden Joko Widodo (Jokowi) bukanlah kader Marhaen sejati. Dia hanyalah kader gadungan. Demikian diungkapkan peneliti PARA Syndicate Virdika Risky Utama yang menyebut jika Jokowi seorang Marhaen sejati maka dia akan berjuang bersama dengan rakyat.
“Tetapi kemudian lebih mencoba kepentingan oligarki, dia hanya berjuang untuk kepentingan keluarganya ketimbang memperjuangkan kepentingan yang besar,” ucap Virdika dalam diskusi dan Bedah Buku yang digelar PARA Syndicate bertajuk “Merahnya Ajaran Bung Karno: Narasi Pembebasan Ala Indonesia”, Jumat (12/2/2024).
Hadir dalam diskusi Dosen FISIP Universitas Airlangga Airlangga Pribadi Kusman, pemerhati sejarah Indonesia Baskara T Wardaya, dan peneliti riset politik BRIN Irene Hiraswari Gayatri. Diskusi dipandu Host Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo.
Lebih lanjut Virdika mengatakan, Jokowi melanggengkan kekuasaan dengan memanfaatkan anaknya yang digunakan untuk mengambil suara anak muda. “Sungguh terciderai seluruh Marhaen di seluruh Indonesia,” tegas Virdika.
Virdika mengakui, bahwa mayoritas anak mudah generasi milineal hingga generasi Z tertarik untuk belajar tentang Soekarno dengan Marhaenismenya. Namun, generasi anak muda tersebut “alergi” karena persepsi para generasi tersebut menganggap milik partai tertentu. Meski demikian, antusias generasi milineal hingga generasi Z harus dijemput dengan baik, dengan melakukan edukasi kepada generasi dirinya.
“Karena Soekarno diasosiasikan partai tertentu sehinggga banyak warga yang agak berpikir untuk mengetahui Soekarno. Sebaliknya lebih tertarik dengan sosok Hatta (Mohamad Hatta) dan Syahrir,” ujar dia.
Hal senada, Baskara T Wardaya mengatakan, titik tolak Soekarno melihat realitas penjajahan di Hindia Belanda dan membaca buku Karl Marx dan Ernest Renan.
“Meski Soekarno belajar Marxis tapi tidak mencopy paste bulat-bulat ajaran Karl Marx, akan tetapi dia lebih melihat realitas tanah airnya dalam sosok petani bernama Marhaen yang menggarap tanah pertanian tapi tetap miskin,” imbuh Baskara.
Menurut Baskara, Soekarno tidak hanya berbicara demokrasi, tapi sosio demokrasi. Selain itu dia bicara nasionalisme tidak sedar sekadar nasionalisme yang sempit, sebaliknya sosio nasionalisme. (Ralian)