LAGU ” Tangis di Belawan”, mengingatkan aku pada peristiwa pertama kali aku ke Jakarta dengan naik kapal Tampomas menuju pelabuhan internasional Tanjung Priok Jakarta.
Ketika itu, hari Jum at, tahun 1981, aku diantar istriku yang pernikahan kami baru berusia tiga bulan. Pada usia pernikahan yang masih baru, biduk rumah tangga kami mulai diterpa badai yang maha dahsat
Tak mungkin aku ceritakan badai seperti apa yang mengguncang rumah tangga kami, tak mungkin aku ceritakan dalam tulisan ini karena terlalu privat.
Tiba tiba aku putuskan berangkat ke Jakarta untuk merubah nasib. Selain diantar oleh istri tercinta juga ada mama dan ibu mertua
Setelah sampai di Belawan kami harus berpisah karena aku harus segera masuk kapal. Aku peluk istriku dengan erat sambil menangis. Lalu kami berpisah untuk sementara.
Kemudian aku salami mama dan ibu mertuaku. Aku lihat mama tak henti hentinya menangis.
“Berangkatlah nak, mudah-mudahan kau dapat kerja yang lrbih baik. Aku akan jaga istrimu selama kau belum bisa untuk menjemputnya,” kata mama dengan berurai air mata.
Trompet raksasa kapal Tampomas berbunyi memekakkan telinga. Pertanda penumpang harus segera masuk.
Aku melangkah memasuki dek kapal dengan perasaan galau. Aku cepat cepat naik ke bibir kapal di lantai dua untuk melihat istriku, mamaku dan ibu mertuaku yang sudah berada di anjungan pengantar penumpang.
Aku lihat mama ku menangis sambil melambaikan selendang, begitu juga istri dan mertuaku, aku balas lambaian itu dengan perasaan sedih karena meninggalkan istri dan keluarga terbaikku.
Bunyi musik dengan suara trompet yang menggema, khas musik anak buah kapal (ABK) terdengar mengiringi pelepasan sauh. Dan, secara perlahan KM Tampomas eks kapal haji itu mulai meninggalkan pelabuhan Belawan. Alunan musik perpisahan itu menambah kesedihan yang mendalam.
Aku pandangi istriku, yang terisak tangis karena kami berpisah meski untuk sementara. Ini salah satu biduk rumah tangga kami sedang berguncang oleh ombak. Rumah tangga kami sedang diuji.
Semakin lama kapal kami semakin menjauh dari dermaga Belawan. Dan akhirnya hilang dari pandangan mata berganti dengan pemandangan yang menakjubkan yaitu laut lepas tak bertepi.
Dalam benakku berkata “selamat tinggal istriku. Aku pergi untuk sementara. Aku akan pulang segera untuk menjemputmu. Doakan aku mendapat pekerjaan yang lebih baik”.
Aku tak kuat berpisah dengan mu walau sehari saja. Tapi ini harus kita jalani walau sangat pahit. Aku ke Jakarta demi rumah tangga kita ke depan. Bisikku kepadanya, sebelum melepaskan pelukannya.
Aku menunduk dan menangis di dek kapal dengan terpaan angin laut yang sangat kencang. Seolah-angin kencang di atas kapal Tampomas mengisaratkan ujian kencang pada biduk rumah tangga kami. (Imran Nasution)