Ilustrasi
KEGETIRAN hidup mendera mayoritas warga masyarakat Padang Bolak, era 70-80-an. Daya beli rendah, hanya mengandalkan pertanian padi dengan IP 100 alias sekali setahun panen. Semua keperluan dibebankan pada hasil panen. Makanya petani di kampung kami itu produsen sekaligus konsumen. Maksudnya, petani beli beras karena hasil padi terkuras biaya sekolah.
Jadi jangan heran, kami para bocah tak dibekali jajan harian sekolah, hanya sekali seminggu bertepatan pasar keliling yang kami sebut hari poken.
Keistimewaan baru kami peroleh mana kali kami sakit demam, marun. Melihat anak demam, para orangtua begitu memanjakan sang anak, tak dimarahi dan banyak iming-iming akan dibelikan celana kanvas atau salju. Untuk pengobatan, aaaaaiiiiihhhh dosir ijur (ngiler), sesuatu yang didambakan para bocah, minuman limun yang diberi pel naspro, bagi yang berduit lengkap dengan roti mari. Bagi ekonomi terbatas, cukup limun dan naspro.
Selepas minum limun yang sangat dirindukan itu, si anak disuruh “markupkup” atau membalut tubuh dengan kain secara penuh agar keringat bercucuran. Durasi markupkup itu tergantung kode dari si anak dengan teriak, “Uma madung hodokan au.” Mendengar si anak keringat, si Ibu begitu gembira karena pertanda sang buah hatinya gak demam lagi, meski belum sembuh total. Saking riangnya si Ibu pun berkata, ” hari pokenon hita tabusi saruar baru da mang.”
Ya Tuhan ku, anak sebaya ku itu kini mayoritas merantau yang membuat si Ibu dibekap rindu. Dulu sebelum ada HP, tatkala rindu menyerang tiba-tiba, si Ibu meluapkannya dengan tangis bersyair, disebut mangandung, terkadang dalam kondisi marbabo/menyiangi sawah. Syair andungnya: Oooooo Anakku Amang…lungun naon daaa mang….Anakkuuuu….oooo Tuhan ku…tolong Anakki di ratto ni halakan baya…madung lima taon baya inda mulak anakki….lungun naon da mang….(Erman Tale Daulay/Desa Siunggam Paluta/Kini Tinggal di Depok)