Ilustrasi
SEORANG kerabat dari Sulawesi penasaran tentang Siunggam. Ia ingin lebih memahami demografi Siunggam lantaran saya sering menulis kampung ku itu di Medsos. Secara singkat, saya coba jelaskan pijakan berpikir saya bahwa lebih baik hujan batu di kampung sendiri ketimbang hujan emas di negeri orang.
Karena itu, rasanya tidak berlebihan kalau saya sebut Siunggam, Padang Bolak, Tapanuli bagian Selatan, Sumatera Utara adalah sebongkah tanah syurga yang diturunkan ke bumi.
Wow, berarti subur dong? Tidak,
Siunggam bukan kawasan agraris, sebab pertanian, perkebunan dan peternakannya babak belur. Petani di sana identik dengan lumpur dan miskin.
Kalau begitu, Siunggam kawasan maritim dong? Hussss (hu pogi naron babami),
Siunggam jauh dari laut, butuh 5 jam perjalanan mobil ke pantai Sibolga. Sudah jauh dari laut, sungai Siunggam Aek Panattahanan pun kian mengecil dan desa itu pun masuk kawasan kering.
Bah, kawasan agraris bukan, kawasan maritim bukan, lalu apa yg membuat ia pantas disebut syurga?
Jawabnya, Siunggam itu mirip Singapur yang miskin sumber daya alam (SDA), namun hebat sumber daya manusianya (SDM). Siunggam, SDA-nya biasa saja, tetapi SDM-nya menonjol atau unggul bila diukur dengan kriteria jago berdebat (martultul).
Kawan, ku ceritakan pada mu Siunggam itu gudangnya ahli debat alias jago martultul, macam pengamat yang di TV itu. Tak masalah dengan disiplin ilmu, yang penting punya modal “isang-isang bosi.”
Arena debatnya di lopo, warung makan minum yang menyediakan tempat duduk dan meja bagi pengunjungnya. Partultul kelas tinggi disebut bayo parbada, semua dibuat sumber pertikaian alias masalah kecil dibuat jadi besar.
Jadi Siunggam itu mini atau etalase dari Indonesia. Siunggam terbukti sejajar Singapur. Karena itu saya usulkan, kalau ibu kota baru Kaltim gagal, pindahkan saja ke Siunggam. (Erman Tale Daulay/Asal Desa Siunggam Paluta/Kini Tinggal di Depok)