DUA tersangka kasus dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) terhadap 20 Warga Negara Indonesia (WNI) ke Myanmar, dibekuk. Keduanya bernama Andri Satria Nugraha dan Anita Setia Dewi yang ditangkap di Apartemen Sayana Lantai 21 kamar nomor 2107, Kota Harapan Indah, Kelurahan Pusaka Rakyat, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi.
Hal itu disampaikan Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro dalam keterangannya, Rabu (10/6/2023). “Keduanya ditangkap penyidik di Apartemen Sayana, Bekasi, Jawa Barat, pada Selasa (9/6) malam, sekitar pukul 21.45 WIB. Penangkapan tersebut dilakukan usai status keduanya dinaikkan menjadi tersangka dalam gelar perkara yang telah dilakukan sebelumnya,” ujarnya.
Dikatakan, keduanya dinilai terbukti melanggar Pasal 4 UU RI Nomor 21 tahun 2007 tentang TPPO dan atau Pasal 81 UU RI Nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI). Seperti diketahui, keluarga dari WNI yang diduga menjadi korban TPPO melaporkan dua pelaku perekrutan tersebut ke Bareskrim Polri.
Pelaporan itu dilakukan ibu dari salah seorang korban berinisial I (54), Selasa (2/5/2023). I melaporkan pelaku perekrut yang mengirimkan anaknya dan WNI lainnya untuk menjadi pekerja migran Indonesia (PMI) di Myanmar.
Keluarga korban didampingi Diplomat Muda Direktorat Pelindungan WNI Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Rina Komaria dan Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto Suwarno dalam proses pelaporannya.
Sehari sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menekankan bahwa pelaku tindak pidana perdagangan orang atau TPPO merupakan musuh negara.
Menurut Mahfud, para pelaku perdagangan orang juga tak bisa mendapat penyelesaian damai atau restorative justice.
“Tidak boleh ada restorative justice atau penyelesaian damai di luar pengadilan terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang,” kata Mahfud saat meninjau media center ASEAN Summit di Hotel Bintang Flores, Labuan Bajo, Selasa (9/5/2023).
Restorative justice hanya bisa ditempuh untuk tindak pidana ringan, seperti fitnah, pencemaran nama baik, hingga berita bohong (hoax). Mahfud lalu menegaskan, untuk tindak pidana seperti pencucian uang, perdagangan orang, korupsi, penyuapan dan kejahatan berat tidak bisa melalui penyelesaian damai.
“Meskipun korbannya memaafkan, negara tidak boleh memaafkan. Penjahat itu lawannya negara bukan korban yang harus dia lawan, sehingga tidak tergantung pada pemaafan korban. Kecuali dalam tindak pidana ringan, itu boleh,” lanjut Mahfud.
Di kesempatan itu, Mahfud juga berbagi pengalaman ketika dia pernah melakukan sidak terkait sindikat TPPO. Dia mengungkapkan, dalam satu kali pengiriman, korban TPPO lintas negara bisa mencapai sekitar 100-200.
Para korban TPPO, berangkat dengan paspor dan persyaratan lainnya yang tidak sesuai alias ilegal, sehingga sulit untuk dikontrol. Setelah dipekerjakan, para korban tak mendapat gaji dan mengalami penyiksaan.
“Gajinya enggak dibayar orangnya disiksa. Kalau mau pulang dimintain uang dulu dan sebagainya. Alasannya apa? Alasannya sudah bayar kepada agen yang ngirim. Kamu masih punya utang. Nah ini yang banyak terjadi,” ujar Mahfud. (zas)