ENTAH mengapa nasibku tak sebaik rekan rekan sebayaku. Mereka bisa bermain bercengkrama sesama rekannya.
Tapi aku ? Pada usia masih
senang bermain, aku sudah harus menemani ayah menyadap karet ke kebun karet yang kami sewa dengan cara bagi hasil.
Pukul 05.00 subuh, aku sudah dibangunkan mama.
” Bangunlah nak, sholat, lalu temani ayahmu menyadap karet,” kata mama membangunkan aku. Ungkapan itu masih terngiang di telingaku, hingga sekarang.
Aku bangun sambil mengeluh, kenapa ya nasibku tak se senang rekan rekanku. Orang tuanya punya sawah dan ladang yang luas punya duit banyak.
Ketika aku beranjak remaja, tepatnya kelas 3 Tsanawiyah di Pondok Pesantren Paringgonan, aku terpaksa berhenti sekolah, karena ayahku tak sanggup lagi membiayai kebutuhan hidup kami.
Dengan terpaksa aku berhenti untuk membantu ayah mencari nafkah nyadap karet dan membuka ladang baru.
Sebenarnya ada pemberontakan batin. Tapi aku tak kuasa melawan kudrat Allah.
Akhirnya aku tinggalkan kampungku Pagaranbira Jae namanya. Sekarang masuk Kabupaten Padanglawas.
Aku merantau ke Padangsidimpuan. Tapi di Padangsidempuan sulit mendapatkan pekerjaan. Sempat aku berniat berangkat ke Batang Toru untuk menjadi buruh perkebunan karet. Abangku keberatan.
Abang menghalangi aku berangkat ke Batang Toru. Ia malah mengajak aku untuk menarik becak. Aku setujui usul abang itu.
Lalu aku belajar menarik beca di Stadion Naposo. Hari itu aku sudah bisa menarik becak. Bahkan sudah bisa bawa penumpang.
Ketika itu saya bisa berpenghasilan Rp 75 sehari. Waktu itu tahun 1973, untuk makan di rumah Makan Malim Saidi Rp 7 rupiah saja, sudah kenyang.
Lalu abang menyarankan agar aku sekolah sambil menarik becak. ” Saya kira kau bisa membiayai hidup dan membayar uang sekolahmu, jika setiap hari bisa mendapat uang Rp 75, ” kata abang menyarankan.
“Mana ada sekolah yang mau menerima murid seorang tukang becak,” jawabku dengan menundukkan kepala.
Aku sedih karena putus sekolah karena kemiskinan keluarga kami. Setiap aku melihat orang berpakaian seragam sekolah, bercanda ria sesama temannya, batinku berontak. Kenapa kesulitan hidup ini tak mau beranjak dariku. mengapa aku tak bisa sekolah seperti mereka. Aku membatin.
” Itu urusanku. Yang penting kau masih punya semangat untuk sekolah,” jawabnya.
Aku mendongak dan memandangi abang. “Serius abang bisa mencarikan sekolah untukku,” jawabku mempertegas. ” Saya sangat ingin sekolah bang. Tapi kemiskinan ini membuat aku putus sekolah,” lanjutku menjawab.
“Kalau begitu tunggulah dua tiga hari ini. Aku urus sekolah mana yang bisa menerimamu sebagai siswa.” Jawaban abang itu membuat hatiku girang.
Betul juga setelah itu abang memberitahu bahwa aku bisa diterima kelas 3 tsanawiyah untuk melanjutkan pelajaran di tsanawiyah NU Wek V Siborang Padangsidempuan.
Tentu dengan syarat melengkapi administrasi, ijasah, surat pidah dari Tsanawiyah Paringgonan ke Tsanawiyah Padangsidimpuan.
Aku juga harus punya pakai seragam putih putih. Karena aku tak punya uang untuk membeli seragam sekolah yang baru, aku ke pasar loak. Di pasar loak banyak baju bekas dan harganya lebih murah.
Sejak itu, aku menjadi penarik becak sambil sekolah. Penarik becak itu saya lakoni selama 9 tahun, hingga aku lulus Sarjana Muda, Fakultas Tarbiyah IAIN Padangsidempuan. Aku di wisuda tahun 1980.
Jika anda pernah naik becak dayung student di Padangsidempuan, itu adalah aku. Anak keluarga petani miskin yang ingin merubah nasib lewat pendidikan. (Imran Nasution).