PADA 5 Juni 2023 lalu, aku melihat di meja yang berada di ujung ranjang istriku, ada makanan seperti susu di sebuah gelas. Aku sedikit bergembira karena istriku sudah membaik dan dokter akan memberi makan.
Pada besuk pukul 16.00, aku melihat gelas yang sebelumnya berisi seperti susu itu sudah kosong. Artinya, susu itu sudah habis karena diberikan kepada istriku.
Aku perhatikan istriku baik- baik. Aku pandangi wajahnya dengan kasih sayang. Hatiku sedikit senang, saat melihat istriku sudah mulai menggerakkan kakinya, meski matanya masih terpejam.
Tangannya juga sudah mulai ia gerak- gerakkan. Harapanku melambung. Aku yakin ia akan semakin membaik. Suasana batinku diliputi suasana senang. “Mungkin sebentar lagi ia akan siuman dan pulih kesadarannya.” Begitu aku membantin.
Aku membisikan ke telinganya; “Opung keneng, aku ada di dekatmu, bangunlah. Kau akan sembuh,” kataku sambil mengudap tangannya yang terasa dingin.
Kelihatan ia mulai merespon, ia berusaha menggerakkan badannya. Hatiku semakin senang.
Usai jam besuk, aku keluar ruangan ICU, meninggalkan istriku terbaring lemah. Begitu juga para pembesuk sudah keluar dari ruang rawat ICU. Para keluarga pasien kini terlibat perbincangan di luar ruangan rawat ICU.
Ruang tunggu ICU terlihat tetap ramai walau suasana muram berselimut duka, ruangan ICU yang selalu bercerita tentang duka nestapa para keluarga pembesuk. Aku cari celah yang kosong. Aku ajak anakku, putriku, serta dua adek istriku untuk duduk melingkar. Kami pun berdoa, munajat kepada Allah pemilik kekuasaan termasuk kekuasan yang menyembuhkan segala penyakit. Doa kami secara khusuk dikhususkan untuk memohon kesembuhan istriku.
Usai kami berdoa, aku mulai bicara tentang kondisi istriku. “Aku melihat kondisinya sudah semakin membaik. Malam ini yang jaga aku dan Zulfadlan anaku yang ke dua, Ade adek istriku, Yuli putriku, dan Icut mantuku saya suruh pulang aja. Agar mereka dapat istirahat. Kalau ada perkembangan akan aku sampaikan,” kataku. Lalu mereka pulang.
Sekira pukul 22.00, kami dipanggil dokter. Panggilan di luar jam besuk, biasanya ada sesuatu yang menyangkut pasien. Hatiku berdebar debar. Aku suruh anakku Zulfadlan yang masuk duluan. Karena ia paham tentang masalah kesehatan.
“Masuklah duluan nak. Kalau ada sesuatu hal yang penting baru aku masuk,” kataku khawatir. Tak lama kemudian Zulfadlan masuk ke ruang ICU sendirian. Beberapa menit kemudian ia keluar untuk memanggil aku. Aku lihat wajahnya sedikit tegang. “Ada apa nak dengan Mamamu,” kataku menyelidiki. Ia ayah, kondisi Mama nampaknya memburuk. Lalu kami berdua masuk ke ruang ICU.
Setelah aku masuk, aku langsung menuju ranjang istriku. Aku dberdiri disamping ranjangnya, sempat membisikkan kepadanya agar ia membacakan kalimat tauhud Lailaha illalloh. Tak lama kemudiaan dokter jaga bersama perawat datang dan mulai menjelaskan tentang kondisi istriku. Kepada kami dokter meminta ijin dan memberi tahu, kalau kondisi istriku memburuk. Dokter meminta kepadaku apakah dibolehkan menggunakan alat pemacu jantung. Dokter juga meminta persetujuan.
Karena aku tak paham, aku tanya anakku apa maksud dokter tentang alat bantu pemacu jantung. Zulfadlan menjelaskan, “Kalau terjadi ganguan pernapasan sampai berhenti bernapas, bisa dilakukan dengan menekan nekan dada pasien untuk memberi kejutan.” Kata Zulfadlan.
Tapi, jika keluarga tak setuju, ya bisa langsung ditalkin saja, jelas Fadlan kepadaku. Mendengarkan itu aku memilih untuk ditalkinkan saja.
Saat itu aku belum terpikir kalau kondisi kesehatan istriku sudah memburuk. Tapi aku lihat wajah anakku berubaha sedih setelah dokter menemui kami. Bahkan ia sempat menitikan air mata. Walau begitu kepadaku ia menunjukkan sikap tegar. Ia menjeaskan berulangkali kalau kondisi mamanya semakin memburuk.
Setelah itu kami dipersilahkan keluar ruang ICU dan menunggu di luar sambil menunggu perekembangan. Karena tak banyak perkembangan, menjelang subuh, aku bicara sama anakku yang malam itu kami berjaga.
“Aku pikir, Fadlan pulanglah. Biar Ayah saja yang jaga. Kondisi Mamanya mudah mudahan akan membaik,” kataku mengusulkan.
“Sehabis shalat subuh, kau pulang aja agar bisa siap-siap untuk berangkat kerja,” kataku lagi.
Begitu juga kepada putriku yang paling kecil, aku telepon dia untuk memberitahu kalau kondisi Mamanya belum ada perkembangan. “Berangkat aja kerja, biar Ayah yang menjaga Mamanya” kataku. Sementara dua tante anak anak yang sudah datang dari Medan menunggu di rumah.
Sekira pukul 09.00, pagi, aku dianggil untuk masuk ruangan ICU. Begitu masuk, aku lihat ada dokter jaga dan dua orang perawat. Dokter jaga itu memberi tahuku kalau istriku kondisinya memburuk.
Aku diminta untuk membimbing membaca taklin, sesuai yang kami sepakati pada malamnya. Aku membacakan talkin, aku bimbing istriku mengucapkan Lailahaa illalloh, Muhammadarrasulullah. Aku lakukan itu berulang kali. Tapi sama sekali tak ada reaksi istriku.
Aku mencoba membuka matanya yang tertutup. Aku melihat matanya tak lagi bercahaya. Aku pegang kakinya, sudah dingin, aku raba tangannya juga sudah sangat dingin, aku lihat gerakan jantungnya sudah terhenti, hanya jidatnya masih angat. Aku tanya dokter, “Apa yang terjadi terhadap istriku,” kataku.
Dokter lalu memeriksa kondisi istriku, dan memberikan bantuan, tapi tak ada lagi reaksi. Lalu ia memberi tahu kalau istriku telah meninggal dunia pada pukul 09.13. Wib.
Tubuhku lunglai, aku terjerembab di samping ranjang istriku. Aku peluk dia, aku menagis. Dan menangis terus. Aku minta waktu ke dokter agar aku menghubungi keluargaku. Aku telepon tente mereka yang berada di rumah dan memberi tahu kalau kakak mereka telah meninggal.
Aku telepon putriku yang telah terlanjur berangkat kerja. Ketika telepon aku, dia angkat ia sedang dalam perjalanan ke tempat kerjanya di Cikarang. Lalu ia berhenti dan berbalik arah. Ia tak melanjutkan perjalanan dan tak jadi kerja, Ia kembali ke rumah untuk mempersiapkan penyambutan Mamanya yang sudah jadi mayit.
Lalu kutelepon juga anakku Zulfadlan, Iqbal Hadi di Lampung dan Zulfikar di Cikupa. Setelah itu aku keluar ruangan ICU dan menangis sejadi jadinya. Sementara perawat membuka alat kesehatan yang menempel di tubuh istriku dan memasukkan istriku ke dalam peti jenasah untuk kemudian dibawa ke kamar jenasah yang berada di belakang gedung rumah sakit.
Aku iringi peti yang di dalamnya istriku terbaring kaku, hingga ke ruang kamar jenasah. Di kamar jenasah aku konsultasi dengan petugas kamar jenasah. Ia menanyakan apakah istriku akan dibawa langsung atau dimandikan dulu, baru di bawa ke rumah duka. Aku jawab agar dimandikan dulu baru dibawa pulang.
Ketika informasi meninggalnya istriku sampai di lingkungan warga tempat aku tinggal, Jafar Lintang tetanggaku terdekat menelepon, dan menanyakan kepastian informasi yang ia peroleh, Dengan suara sesunggukan aku bilang betul kalau istriku sudah meninggal. Lalu ia bilang, “Kita akan jemput dengan ambulans. Tak usah nyari ambulans,” lanjutnya.
Tak lama kemudian ambulans datang ke rumah sakit langsung diarahkan ke ruang kamar jenasah. Setelah selesai dimandikan, sebelum selesai dikafani, aku diberi kesempatan oleh petugas yang memandikan jenasah untuk melihat dan memandangi jenasah istriku. Aku pandangi wajahnya yang sudah tenang itu. Lagi lagi air mataku tak terbendung tumpah. Aku menangis, aku padangangi istriku yang telah mandampingi aku selama 45 tahun dalam suka dan duka. Merawat, membesarkan dan memberi pendidikan kepada anak anak kami.
Setelah selesai dikafani, kami mengangkat tubuh istriku ke dalam ambulans. Kemudian ambulans secara perlahan meluncur keluar dari rumah sakit dengan ditingkahi serene yang meraung raung. Beberapa saat kemudian, ambulans memasuki Jalan Siaga N No 145, Rawalumbu, tempat kami tinggal. Aku mnyaksikan tetanggaku kaum kerabat, rekan rekan istriku, berdatangan. Sejumlah ibu’ ibu sibuk, ada yang menggelar tikar, ada yang menyiapkan tempat pembaringan jenasah istriku di dalam rumah kami.
Rumah kami yang dibangun dengan susah payah kini akan ia tinggalkan untuk selama lamanya. Hari itu tepatnya, 6 Juni 2023, adalah hari terakhir bagi istriku menempati rumah kami. Rumah kami, hari itu berduka. Jejeran bangku, di bawah tenda duka, membuat hatiku semakin pilu. Karangan bunga tanda turut berduka, yang dikirim dari sejumlah perusahaan tempat anakku bekerja, di tata berjejer di halaman rumah kami. Bendera kuning tanda duka dipasang untuk menjadi petunjuk ke arah rumah duka.
Keluarga, sahabat, teman, tetangga berdatangan untuk takziyah. Pukul 15.30, seusai shalat asar, jenasah istriku dibawa ke masjid Al Muhajirin, yang berada di depan rumah kami untuk di shalatkan. Usai dishalatkan, jenasah dimasukkan ke dalam mobil ambulans lalu kemudian dibawa ke Padurenan untuk di makamkan. Istriku di makamkan di blok M pemakaman umum Padurenan, Mota Bekasi.
Di rumah kami, terjadi kesibukan yang luar biasa, Kaum kerabat dan temanku terus berdatangan untuk memberikan ucapan belasungkawa dan turut berduka. Aku duduk terisak menyambuat keluarga, sahabat, rekan rekan, handai tolan yang datang untuk melayat.
Di ruang tamu terbujur kaku istriku yang sudah 45 tahun tahun kami bersama. Sudah banyak torehan perjalanan hidup kami yang tidak mudah aku lupakan begitu saja. Bagiku ia adalah istri yang tangguh, karena ia sanggup menjalani kehidupan yang paling sulit pun.
Pernah suatu hari, anak kami sakit. Tentu anak yang sedang sakit sudah pasti rewel. Badan anak kami panas dan menangis terus. Terpaksa kami harus gantian menggendongnya. Ketika malam tiba, orang orang tertidur nyenyak, is justru tak tidur, ia gendong terus anak kami yang mengiris kesakitan.
Ironisnya, aku tak punya uang untuk membawa kami berobat ke puskesmas. Karena anak kami nangis terus setiap malam. Pemilik rumah kontrakan datang. “Pak Nas, sudah dua hari dua malam saya dengar anakmu nangis, sakit ya” katanya. Aku jawab “iya”. Kenapa tidak dibawa berobat ke Puskesmas,” katanya . Aku bilang tak tahu dimana Puskesmas. Padahal bukan aku tak tahu Puskesmas, tapi karena aku tak punya uang untuk membeli obat.
Tak lama kemudian pemilik rumah kontrakan itu balik ke rumahnya dan berpesan agar aku menunggunya. Tak lama kemudian ia datang membawa obat puyer untuk anak- anak. Kemudian diminumkan ke anakku, sabil berujar kalau ada apa apa, beritahu aku, katanya sambil pulang ke rumahnya.
Tak lama setelah anakku minum obat, ia terlihat tertidur. Dan malam itu benar benar ia tertidur pulas, sampai pagi. Ketika bangun pagi anak kami mulai minta makan, Sejak itu kesehatakan anak kami pulih. Itu adalah salah satu sisi kesulitan hidup kami di Jakarta. Tapi istriku tetap tegar mengahadapi setiap kesulitan yang mendera kehidupan kami.
Selamat jalan istriku, semoga Allah menempatkanmu di tempat yang baik yaitu sorga Jannatul Firdaus. (Imran Nasution)