PADA tahun 1982, salah satu terminal bus terbesar di Jakarta adalah Cililitan Jakarta Timur. Terminal ini beroperasi 24 jam tanpa henti dan terus ramai. Bus antar kota antar provinsi, PPD, Mikrolet, Metro Mini, Kopaja, hilir mudik keluar masuk terminal.
Itu sebabnya banyak orang yang mengais rejeki di terminal terbesar di Jakarta itu. Ada Calo, pedagang makanan dan minuman, pengasong, kios koran dan majalah, pengamen, bahkan tukang copet, penumpang bus yang naik turun hilir mudik.
Hari itu waktu sudah menunjukkan pukul 13.15, koran jualanku masih banyak yang belum laku. Akupun terus naik turun bus untuk menjajakan koran jualanku.
Ketika aku turun dari bus PPD 45 jurusan Blok M Cililitan, dari kejauhan aku mendengar suara musik yang sudah akrab di telingaku. Dari lagu-lagu yang dilantunkan aku menduga itu group musik Sitilhang dari luat Silindung Tapanuli Utara.
Sambil menggembol dan memeluk koran jualanku aku mendekati kerumunan orang yang kalau saya perhatikan, banyak dari Sumatera Utara, terutama Tapanuli.
Sesampainya aku di kerumunan orang- orang itu, aku melihat ada empat orang yang sedang memainkan musik. Ada memegang seruling, gendang, gitar, dan ada yang menyanyi.
Mereka menggelar tikar tak jauh dari mulut keluar dari terminal, mereka asik mengamen, dengan lagu lagu dari Tapanuli.
Ada ungkapan yang populer, “Kalau orang batak berbicara, seperti orang berantem. Tapi kalau dia nyanyi malah menangis.”
Aku mulai tertarik dengan lagu- lagu yang mereka lantunkan. Aku mencari posisi untuk mencari tempat jongkok. Kalau duduk tak mungkin.
Mereka menyanyikan lagu yang bercerita tentang kampung halaman, anak rantau yang hidupnya masih susah, orang tua yang menanti anaknya pulang dari rantau.
Salah satu bait lagu yang membuat aku sedih dan teringat orang tua di kampung adalah; “Manimbung au amang da tu halamani sian balatuk ni jabuttai. Huripu do amang ho naung mulaki mondulo huta nauli i. Indang di dalan namargamboi amang, jala di turu ni sappilpili, ima tano hatubuan mi amang, lupa doho.”
Cerita lagu itu mengisahkan seorang tua yang sudah lama menantikan kepulangan anaknya dari rantau. Setiap ada mobil yang lewat di depan rumah ia pikir anaknya pulang dari rantau. Itu sebabnya setiap mobil mengerem di di depan rumah ia loncat dari dalam rumah.
Mendengar lagu itu, aku teringat pada orang tua, yang menantikan aku pulang. Namun karena nasib baik belum berpihak kepadaku, aku tak bisa pulang. Hidup masih sangat susah. Mencari nafkah sebagai penjual koran.
Pikiranku melambung ke sebuah desa kecil yang sejuk, di lembah gunung Halotan, di Pagaranbira, kecamatan Sosopan, Padanglawas. Di situ aku dilahirkan dan dibesarkan.
Rasa rindu yang mendalam terhadap orang tua terus bergelayut dipikiranku. Terbayang terhadap orang tua yang terjaga dari tidurnya dan langsung keluar rumah karena mengira kami anak anaknya pulang dari rantau.
Semakin lama aku menikmati lagu lamunanku pun semakin dalam. Aku mulai tertunduk mendengar lagu yang mereka lantunkan. Mataku mulai berkaca kaca. Air mataku mulai menetes, menggelinding melewati pipiku. Terbayang kepedihan hidup. Susahnya kehidupan saat di kampung.
Aku teringat sama ibu, saat ia membangunkanku di subuh yang dingin membuat aku meringkuk.
” Bangunlah nak, hari sudah siang, temani ayahmu menyadap karet. Ayahmu tadi sudah berangkat duluan. Temui ayahmu di masjid. Ia masih shalat,” kata mamaku membangunkan aku.
Aku bangun dengan malasnya. Karena hari masih subuh dan gelap. Tapi, kepatuhan terhadap mamaku, membuat aku melawan malas. Aku bangun. Aku buru buru mencari pisau guris alat penyadap karet, dan lalu aku turuni tangga rumah kami yang terbuat dari kayu lalu aku menusul ayah ke masjid.
Ketika aku sampai di masjid, ayah sudah menunggu. Aku segera ke pancuran untuk mengambil wudhu. Pancuran masjid airnya yang sangat dingin, membuat aku sontak, dan sadar bahwa aku sedang melamun.
Aku lihat orang sudah sepi. Tinggal ke empat orang itu yang sedang berkemas dan mengumpulkan uang hasil mengamen.
Ternyata, aku sedang menangis sesungukan sambil memeluk koran jualanku. Sambil mengusap air mata aku tinggalkan terminal Cililitan, sambil teriak menawarkan koran.
Koran….koran… Pos Kota, Sinar Pagi, Kompas, Merdeka, Berita Buana…teriakku menghilang dari keramian Terminal Cililitan. (Imran Nasution)