TAHUN keempat di Jakarta, aku sudah punya tempat privat pengajian belajar Alqur’an, yang lumayan banyak. Itu berkat surat pembaca yang aku tulis dimuat Majalah Panji Masyarakat, yang saat itu diasuh Rusydi Hamka, putra Buya Hamka.
Surat pembaca itu berisikan kesiapan aku untuk mengajari anak-anak atau keluarga yang belum bisa baca Alqur’an. Aku punya metode yang bisa cepat bisa baca Alqur’an.
Permintaan untuk belajar bacaan Alqur’ an mulai mengalir. Aku sudah mulai sibuk mengajar baca Alqur’an. Tempat privat baca Alqur’ an, tersebar dari Rawasari, Rawamangun, Jatinegara, Cempaka putih, Blok R, Jakarta Selatan, Kreo, hingga di Kampung Larang Ciledug Tangerang.
Dari hasil privat belajar ngaji ini, aku bisa membeli vespa butut, tahun pembuatannya 1962. Meski vespa tua, tapi jarang mogok.
Saat itu aku sudah terbiasa keluar dari rumah menuju Rawasari untuk mengajar mengaji di rumah seorang Ir, pejabat di Bulog, lalu dari situ mengajar ngaji di rumah keluarga seorang akuntan perusahaan di daerah Jl Pramuka. Dan aku baru sampai di rumah, Jl Gongseng Raya Cijantung, pukul 23.00.
Suatu hari sehabis mengajar di perumahan Larangan Indah Ciledug Tangerang, sesampainya aku di pertigaan menuju komplek kopasus Cijantung Jakarta Timur, tiba- tiba ban vespa aku bocor. Mungkin kena paku.
Karena hari sudah malam tak ada lagi tukang tambal ban yang buka. Sedang, ban vespa yang bocor tidak bisa didorong. Tapi ban harus dicopot dan diganti dengan ban serap, atau dibawa ke tukang tambal ban.
Tambal ban, sudah tutup. Ban serap tak ada, penitipan motor juga tak ada. Aku bingung. Ditinggal di pinggir jalan takut digondol orang. Akhirnya aku putuskan mendorongnya.
Padahal jarak tempat vespaku yang bocor dengan rumahku di Gongseng Raya masih ada sekira 5 Km. Kalau lewat jalan melintas memang lebih dekat, tapi jalannnya jelek dan naik turun.
Aku mulai mendorong. Setiap aku dorong ke depan, sayangnya ban belok ke kiri atau ke kanan. Aku mulai ngos-ngosan.
Aku terus dorong meski jalan yang dilalui batu krikil dan menanjak, karena aku memilih jalan pintas untuk dekat ke rumah.
Meski aku sudah terlalu lelah, dan sudah dehidrasi, haus, aku masih saja mendorong vespa ku itu. Hari sudah semakin larut. Orang sudah banyak terbuai mimpi tidur di kasur yang empuk. Aku masih tetap berjuang mendorong vespaku.
Pandanganku mulai berkunang-kunang, tenggorokan kering. Aku tak punya setetes air untuk membasahi kerongkongan. Lutut saya gemetar.
Setibanya di sebuah pertigaan setelah melalui tanjakan berbatu, aku tak kuasa lagi untuk berdiri. Tiba tiba…gubrak…aku roboh bersama vespa yang aku tuntun.
Dari rumah dekat aku roboh terdengar longlongan anjing seolah memberitahu tuannya ada sesuatu kejadian dekat rumahnya.
Tuan rumahnya keluar untuk mengetahui apa yang terjadi. Dari ke jauahan samar ia melihat sesuatu. Lalu ia dekati. Dan, lebih dekat lagi. Tiba tiba ia kaget. Ia menemukan aku terkapar tak sadarkan diri.
Yang punya rumah itu Pak Slamet Siswanto namanya. Ia teman arisanku di RT kami. Ternyata aku sudah sampai di RT kami.
Slamet, teriak, “Mah, ini pak Nasution. Ia pingsan, tolong ambilkan air.” Teriak pak Slamet memanggil istrinya
Tak lama kemudian, istrinya datang tergopoh- gopoh sambil bawa air. Air disuapkan ke mukaku. Aku mulai sadar. Aku coba pulihkan kesadaranku.
Pak Nas, kenapa sampai begini. Darimana pak Nas malam malam begini, kenapa datang dari belakang tidak dari jalan raya, katanya membrondong saya dengan pertanyaan.
Setelah aku minum aku coba menguatkan diri. Lalu aku ceritakan kalau vespa aku bocor dan tak ada tambal ban dan penitipan motor. Lalu aku dorong dengan mencari jalan pintas yang lebih dekat.
Aku kecapean, dan jatuh lalu pingsan. Setelah itu, aku dipapah menuju RT kami yang kebetuan juga tak jauh dari tempat aku terkapar.
Setelah berbincang di rumah RT, tetangga pada datang. Lalu aku diantar ke rumah dengan ramai-ramai. Kepada istriku di bilang, bahwa aku pingsan. ” Bapak hanya perlu istirahat yang cukup untuk memulihkan kesehatannya,” kata ketua Rt kami. (Imran Nasution)