Mengenang Sumpah Pemuda 28 Oktober, Pemuda/di Siunggam, Paluta, Era 80-an

Umum2586 Dilihat

HARI ini diperingati Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober bertepatan malam Minggu. Saya terkenang 40 tahun lalu saat sore menjelang malam minggu. Acara resepsi pernikahan (mebat) di malam itu membuat muda-mudi (naposo bulung) sibuk pontang-panting. Kaum pria bergegas menyalakan lampu petromak (tarongkeng)- cari spiritus dan pasang kaos lampu, sementara wanita menyiapkan mie shop untuk konsumsi acara jeda yang dinantikan banyak orang, termasuk saya.

Tak sedikit orang menempuh jalan kaki berkilo-kilo hanya sekadar mengejar makan mie shop tersebut. Saya, misalnya, merasa enteng langkah ke Siunggam Jae menghadiri resepsi dengan tujuan makan mie shop.
Suatu waktu saya lemas bukan main, ketika acara jeda tiba yang muncul bukan mie shop, tetapi tuangan dan sisa ulame (dodol) yang belum habis di waktu lebaran. Saya frustasi, tenaga sudah habis begadang dan pagi dini hari harus balik ke Siunggam Julu berjalan kaki, sementara mie shop yang diburu tidak terhidang. Artinya jangan main-main dengan mie shop jika menggelar resepsi pernikahan, karena dambaan semua orang.

Kembali ke acara resepsi di pasar Siunggam, Paluta, di awal 80-an. Resepsi ini acara hiburan sekaligus acara “pelepasan” pengantin wanita yang telah marbagas (menikah) ke desa tetangga atau daerah lain. Acara resepsi ini porsi pemuda/pemudi, sementara para orangtua melaksanakan prosesi adat.

Kala itu desa Siunggam belum dialiri listrik, jadi andalan penerangannya lampu tarongkeng. Untuk sound system masih menggunakan ampli tua dengan kekuatan batere ABC kuning yang dijemur siang harinya. Nah, boleh dibilang satu satunya yang ahli memasang ampli dan menghidupkan gitar melody hanya oppung Syakriman alias Kuyut alias Coit.

Kuyut dengan cekatan menyambung kabel dan membungkus kepala batere ABC kuning dengan kertas bungkus rokok bagian dalam (porada) lalu diikat dengan karet. Kalau disenggol dikit, lepaslah ujung kabel, maka mik pun mati. Lalu ‘panitia” teriak-teriak memanggil si Kuyut. Tidak lama yang dicari muncul dengan gaya teknisi profesional. maklum hanya dia yang bisa pasang, jadi wajar bergaya sedikit atau jual mahal.

Acara resepsi dimulai selepas Isya atau tepatnya acara adat hatobangon selesai. Menjelang acara orang-orang sudah berkumpul dengan menenteng kado masing-masing. Bongkar rahasia nich, umumnya bungkus kado itu berisi sabun batang cap Gajah, satu dua memang ada lampu camporong.

Begitu acara tiba, susunan acara dimulai dari pemberian kado dan kata sambutan. Kata sambutannya seragam, “adong natarpayak di jolo muyu, ulang buruk-buruk disimpan, buruk-buruk dipake manian. Padahal isinya sabun batang. Habis itu tibalah acara musik yang hanya memakai melody tunggal yang dimainkan Uda Muin. Hanya melody, dibantu nasyid (ersek-ersek), tidak ada keyboard seperti zaman sekarang. Lantaran minimnya hiburan dalam kehidupan sehari-hari, musik melody tunggal itu luar biasa buat kami. Apalagi oppung Kuyut yang sering bertindak sebagai pembawa acara mampu menghidupkan suasana.

Dalam melody tunggal tidak ada penyanyi spesial, jadi vokalisnya tergantung dari permintaan yang ditulis di secarik kertas, lalu dibacakan si Kuyut dengan khasnya. Misalnya ada permintaan menyanyi buat bere Gabena Sari, Kuyut membaca dengan gaya, ” siapakah dia, dialah saudari kita Gabeeeeenaaaa”. Kemudian diiringi musik rock ala Uda Muin. Kemudian ada redaksi permintaan begini: diminta kepada….untuk menyanyikan ulos sirara…permintaan ini tidak dapat ditolak kecuali innalillah” Atau diminta kepada Anna Harahap untuk menyanyikan lagu Balun-Balun Bide, permintaan ini datang dari Anak Namborumu Siunggam Julu.

Banyak orang yang kaget tiba-tiba dapat permintaan menyanyi, tapi karena gak punya nyali naik pentas pergi kabur lari terbirit- birit. Sebaliknya ada yang bikin lagu permintaan buat dirinya sendiri saking percaya dirinya. Tak terasa malam sudah larut, acara ditutup makan mie shop.
Siang harinya siap-siap acara martandang/ pacaran ke tor tor Siparau.

Biasanya saling tukar, gadis tamu berkelompok ke pemuda tuan rumah, sebaliknya gadis tuan rumah bergabung ke pemuda tamu. Ciri-ciri orang yang dapat pasangan ketika si pria memakai kerudung atau basaen si cewek di lehernya.

Saat acara martandang, saya menyaksikan pemandangan aneh: seorang pemuda yang tak ganteng-ganteng amat, malah paling jelek diantara teman-temannya, tetapi sukses menggandeng gadis yang lumayan cantik. Saya tergoda menyelediki fenomena ini, apa kiat kawan itu sehingga sering sukses menaklukkan hati wanita.

Wow; rupanya kawan itu saat kenalan dengan si cewek ia mengaku anggota Bataliyon. Maaf padahal sehari-harinya ia pengangguran. Pria itu pun makan korban. (Erman Tale Daulay/Asal Desa Siunggam/ Sekarang tinggal di Depok)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *