Spiritualitas tidak Semata Ketajaman, Juga Kematangan

Umum1652 Dilihat

Oleh Nazwar S. Fil. I M. Phil
(Penulis Lepas Yogyakarta)

ILMU sebagai cahaya, bijak menggunakannya di antaranya selalu membuatnya menyala bisa dengan sang surya atau sekadar temaram pelita. Bahkan terhadap sudut paling kelam dari sisi kehidupan, dengan ilmu dapat menjadi terang benderang.

Kali ini, penulis mengulas spiritualitas yang secara materi masih jarang ditemukan dalam kajian ilmiah. Bagian terdalam dari pengalaman agama sebut istilah spiritialitas melekat dengan suatu sistem. Sebagai satu unsur bagian, sebut dalam sistem keyakinan seperti dalam agama-agama, spiritualitas menjadi tumbuh dalam diri manusia semisal tumbuh kembangnya pemahaman, pengamalan agama.

Meski tidak identik dengan usia, beberapa unsur tersebut saling mengisi satu sama lain dalam tumbuh kembang manusia, beragama. Seringnya, semakin sebut istilah dewasa usia seseorang semakin matang pula spiritual seseorang tersebut. Meski tidak identik, usia muda tidak jarang memiliki kualitas spiritual yang matang.

Hal ini dapat disebabkan oleh bebagai hal, semisal banyak mengamalkan amalan saleh yang memiliki keutamaan besar sebagai contoh berbakti kepada orang tua lebih utama dari jihad. Atau tingkat intelektual tinggi di usia muda, namun secara spiritual dewasa seperti Doktor di usia muda.

Pandangan tentang relativitas kondisi spiritual khususnya dalam beragama tampak jelas pada keagungan akhlak penganutnya. Terdapat agama yang sebut usia lebih tua, namun dalam sikap justru seringnya menggila dan jauh dari kemuliaan atau keagungan. Hal ini bisa dilihat pada verbagai fenomena mendunia dewasa ini, baiklah!

Maka tepat kiranya diungkapkan bahwa spiritualitas tidak semata ketajaman namun akab lebih mudah dipahami dengan kematangan. Jika ketajaman seringnya dimaknai dengan alat, yang dipertajam dan digunakan untuk tujuan tertentu, semisal membedah, maka matang sebagai suatu kondisi yang bisa dimanfaatkan dalam bentuk lain.

Sebagai pertimbangan, menempatkan diri dalam kondisi selektif dan menyikapi nikmat keduniaan secara bijak tidak semata bermakna “playing victim” atau secara otomatis berperan dalam arena permaninan sebagai korban, namun lebih merupakan sikap hati-hati serta takut untuk tidak mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban yang melekat.

Spiritualitas yang matang memahami betul fitrah atau kondisi sejati manusia serta kebutuhan dan ketidakbutuhan dari berbagai hal berbau keduniaan. Sejatinya spiritual matang mampu membedakan kondisi sejati dan kondisi manusia yang tercemari. Maka, pada saat yang sama hadir sifat lain spiritual berupa ketajaman.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *