JAKARTA, KORANBEKASI.ID – Konstelasi politik menjelang pendaftaran calon Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta makin dinamis menyusul putusan MK nomor 60 dan 70. Keluarnya putusan MK nomor 60 membuat peluang Anies Baswedan kembali terbuka untuk dicalonkan sebagai calon gubernur. Salah satu parpol yang berpeluang mencalonkan adalah PDIP.
Keberadaan putusan MK juga menjadi ujian bagi Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus. Apakah tetap solid atau atau ada yang berbalik. Dalam acara dialog interaktif di Radio Elshinta, Sabtu (24/8/2024) malam, ucapan dari Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan bahwa akan ada yang goyah di KIM plus, menjadi pembahasan menarik. Apakah mungkin ada yang kembali mendukung Anies atau calon lainnya.
“Pemilihan gubernur DKI Jakarta 2024 memang menarik. Misalkan PKS, itu kadernya sendiri yang dicalonkan dan itu berdasarkan pertimbangan musyawarah dewan syuro. Kemudian partai ini memenuhi syarat untuk bisa mencalonkan akan menghitung ulang sebelum pendaftaran,” ujar Pengamat Pemilu dari Rumah Demokrasi Ramdansyah.
Apalagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan bahwa pelaksanaan pendaftaran pasangan calon di Pilkada 2024 akan melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi atau MK?
KPU telah mengirimkan surat dinas perihal pelaksanaan pendaftaran tersebut ke KPU-KPU tingkat provinsi, KIP Aceh, hingga KPU tingkat kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Surat tertanggal 23 Agustus 2024 itu berisi soal kepastian lembaga penyelenggara pemilu di tingkat provinsi hingga kabupaten/kota mengadaptasi putusan MK.
Putusan yang ditetapkan MK dalam Pilkada 2024 adalah mengubah ambang batas pencalonan oleh partai politik. Putusan 60/PUU-XXII/2024 memberikan syarat baru ambang batas.
Dalam ketentuan ini, partai atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mengusung pencalonan meski tidak punya kursi DPRD. Namun catatannya, mereka harus memperoleh suara sah 6,5-10 persen dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT) masing-masing daerah.
Sedangkan untuk DKI jakarta, dalam ketentuan ini, ambang batas perolehan suara untuk Provinsi Jakarta sebesar 7,5 persen mengingat Provinsi Jakarta masuk dalam klasifikasi ketentuan jumlah penduduk yang tercatat pada daftar pemilih tetap lebih dari enam juta jiwa sampai 12 juta jiwa.
Sementara Putusan MK nomor 70/PUU-XXII/2024 mengatur batas usia minimum pasangan calon (paslon) peserta Pilkada. Batas usia itu ialah saat ditetapkan oleh KPU sebagai paslon, bukan ketika dilantik. Untuk paslon tingkat provinsi, memiliki batas minimum berusia 30 tahun. Sementara, paslon tingkat Kabupaten/Kota memiliki batas minimum usia 25 tahun.
“Kita juga harus apresiasi KPU DKI yang sudah mendapat surat dinas dari KPU RI. Yang kemudian edaran ini dilaksanakan. Tentu saja sebagai pelaksana teknis, KPU DKI harus kemudian meneruskan itu,” ujar Ramdansyah yang juga Ketua Bidang Kepemiluan Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (Kabid Kepemiluan MN Kahmi).
Mantan Ketua Panwaslu DKI Jakarta tersebut menjelaskan, Peraturan KPU No. 8 tahun 2024 tengah direvisi.
“Ahad pagi ini KPU RI akan rapat konsultasi dengan komisi II untuk mengakomodir Putusan MK nomor 60 dan 70. Itu dari KPU RI, kemudian meskipun itu belum menjadi peraturan KPU, atau revisinya Peraturan KPU Nomor 8 tahun 2024 yang akan direvisi, KPU DKI perlu diapresiasi pada hari Sabut, 24 Agustus 2024 sore sudah bikin statemen yang menyatakan akan mematuhi keputusan MK. Yang sebenarnya itu sebangun dengan kepatuhan KPU DKI dengan surat dinas dari KPU RI,” Ramdansyah menjelaskan.
“Apakah kemudian akan ada neko-neko? Jawabannya tidak. Karena surat keputusan KPU DKI itu sebangun dengan putusan atau peraturan KPU RI. Jadi tidak boleh berubah atau melenceng. Karena ini hanya sebagai tindak lanjut, sebagai pelaksana teknis bukan kemudian membuat norma atau kemudian dia menggunakan peraturan KPU yang lama terkait dengan misalkan keputusan Mahkamah Agung, itu tidak mungkin,” sambung Ramdansyah.
Dengan adanya kepastian itu, terang Ramdansyah, Pilgub 2024-2029 di DKI Jakarta tidak akan melawan kotak kosong.
“Kan selama ini DKI dianggap akan melawan kotak kosong. Sebenarnya tidak juga karena sebelumnya kita sudah lihat calon perseorangan sudah lolos sudah memenuhi suara minimal yang didapatkan 670 ribuan lebih,” ujarnya.
Tentu saja, urai Ramdansyah, untuk persyaratan pencalonan harus minimal mendapatkan 7,5 persen (454 ribu lebih) itu kita akan bisa temukan partai-partai yang bisa mengusung calonnya sendiri. Ada sekitar 8 partai. Misalnya PKS yang mendapatkan 16,8 persen, PDIP yang dapat 14 persen, Gerindra 12 persen sampai terakhir yang mendapat 7,51 persen atau 450 ribuan itu adalah PAN.
“Yang menarik yang kita ketahui pasangan Ridwan Kamil dan Suswono ini kan dapat dukungan dari gabungan parpol Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus yang melebihi syarat sebelumnya yakni 20 persen. Asumsinya kan lawan kotak kosong dan ternyata tidak. Kemudian PDIP tadi sore kehadiran pak Anies ke kantornya yang bisa saja dibaca akan mendapatkan dukungan menjadi Cagub Jakarta. PDIP bisa mengusung calonnya sendiri, karena mendapatkan suara lebih dari 7,5%,” ujar Ramdansyah.
Dengan adanya putusan MK, juga ramai diperbincangkan kemungminan ada yang goyah di KIM Plus. Apakah mungkin ada yang kembali mendukung Anies atau calon lainnya.
Partai yang memenuhi syarat pencalonan, akan menghitung ulang sebelum pendaftaran.
“PKS kan sedang disorot publik, yang mendukung Anies, karena gabung KIM plus. Dia harus menimbang apakah akan mengambil kursi di kabinet, atau akan ditinggalkan pendukungnya di Jakarta, karena tidak mendukung Anies Baswedan,” ucap Ramdansyah.
PKS bergabung dengan KIM plus, jelas Ramdansyah, ini pertanyaan besar apakah PKS berkoalisi taktis atau ideologis. PKS itukan partai ideologis sama misalkan dengan PDIP.
“Hasilnya akan kita lihat nanti apakah yang menang koalisi taktis atau ideologis,” ujar Ramdansyah seraya menerangkan bahwa PKS nanti tergantung pertimbangan dewan suro apakah sebelum pendaftaran KPU dibuka pada tanggal 27 sd 29 Agustus 2024 masih bergabung dengan KIM Plus atau menarik dukungan.
Ramdansyah mengatakan, PKS itu punya basis ideologis, sama seperti dengan PDIP, dimana konstituennya tidak akan pergi kemana-mana.
“Tapi persoalannya ketika PKS melakukan koalisi taktis, kemarin kita sudah banyak dengar di media sosial, banyak yang tidak ingin mendukung partai ini kalau partai tetap bergabung di KIM Plus. Yang pasti konstituen ideologis tidak akan berubah. Yang swing voters atau massa mengambang yang mendukung partai ini karena simpati atau mendukung pak Anies, dia akan bergeser. Katakanlah swing voters di PKS 20-30 persen, maka mereka berpotensi tidak mendukung partai di Pilgub DKI 2024 atau Pileg 2029. Apakah 20-30 ini signifikan, menurut saya signifikan,” terang Ramdansyah.
Di lain pihak, pada Pemilu 2019 lalu swing voters PPP mulai meninggalkan partai. Meskipun PPP lolos ambang batas partai di DPR RI, tetapi pada akhirnya di Pemilu 2024 partai ini tidak lolos ambang batas, karena perilaku partai di Pemilu 2019. Hal ini bisa terjadi pada PKS. Partai ini sekarang bergabung ke KIM Plus, maka berpotensi dukungan dari swing voters akan berkurang kepada partai. Memang perlu pembuktian, tetapi titik kritisnya adalah di Pilgub DKI 2024 sekarang ini.
Adapun dalam koalisi taktis akan berhadapan dengan karisma publik dari calon kepala daerah. Pemilih mencoblos tidak semata-mata karena keberadaan partai, tetapi sosok yang memiliki elektabilitas. Kecuali, pemilih yang memiliki historis ideologis. Salah atau benar partai politiknya, pemilih tersebut tidak akan pindah ke lain hati.
“Saya melihat problem kita hari ini adalah bagaimana kharisma pak Anies di Jakarta versus kharisma Ridwan Kamil kharisma yang awalnya terkenal di Jawa Barat. Kharismanya diukur terus. Dan tidak boleh membangun bata satu demi satu bata. Akhirnya ketika sampai puncak, bata itu dijatuhkan dengan pernyataan yang kontra produktif. Ingat, apa yang terjadi ketika blunder statemen pak Ahok di pulau seribu di Pilkada DKI 2017,” jelas Ramdansyah.
“Pak Anies membawa batu itu sampai ke atas. Pak Anies punya kharisma di Jakarta dan tentu saja pendukungnya orang Jakarta. Ridwan Kamil betul memenangkan pilkada di Jawa Barat, tetapi belum benar-benar teruji ketika dia masuk ke Jakarta,” sambung dia.
Kharisma masing-masing dua calon tersebut, kata Ramdansyah, selama keduanya tidak ceroboh mengeluarkan pernyataan yang kontra produktif dan kemudian membangun batanya bagus, bisa nggak didukung parpol.
“Karena apa? Pertama, walaupun partai-partai pengusung calon banyak di KIM plus, tapi ini kan kesepakatan para elit partai, belum tentu pendukung. Kedua problem berikutnya mendukung KIM plus bukan karena kesadaran ideologis tapi karena taktis. Maka angka suara pemilih di Pileg 2024 tidak bisa dikonversi begitu saja menjadi pendukung di Pilgub DKI. Bahkan suara tersebut menjadi semu, menurut saya. Kalau tidak diamati secara serius, maka para pendukung yang lari tidak bisa diselamatkan,” jelas Ramdansyah
Uji Hasil Survei
PDIP disebut tidak cukup kuat di Jakarta. Malah kemudian Anies bisa saja kalah, kalau hanya didukung oleh satu partai. Hal itu juga dipertanyakan pendengar Elshinta.
Menurut Ramdansyah, kita akan melihat hasil lembaga survei. Kita akan uji hasil lembaga survei yang sudah beberapa kali muncul. Kalau head to head.
“Yang menarik survei dari Syaiful Muzani Research Centre atau SMRC awal Agustus 2024 lalu yang menyebutkan bahwa Pak Anies mendapatkan dukungan.
42,8 persen, Ridwan Kamil 34,9 persen. Ini menarik kenapa pak Anies bisa muncul unggul, padahal Itu belum digabung dengan partai politik pengusung, nantinya. Artinya secara personal kharisma Anies muncul 42,8 persen dan Ridwan Kamil 34,9 persen. Kemudian ditambah kalau Anies benar mendapatkan dukungan PDIP yang ideologis ini kemungkinan akan bertambah tidak yang 42,8 persen. Sementara Ridwan Kamil 34,9 persennya itu dengan sejumlah partai di KIM plus belum tentu dapat melebihi dukungan suara melebihi pak Anies,” ujar Ramdansyah
Adapun calon perseorangan, karena baru muncul, Kharisma belum muncul seperti dua calon lainnya. Namun apakah akan menggerogoti suara atau akan dua putaran. Menurut Ramdansyah, kalau dukungan KTPnya riel, maka signifikan bisa menggerogoti kedua pasangan calon.
“Tapi kemudian publik kemarin sudah menilai adanya pencatutan KTP si A, KTP si B dan sebagainya,” ujarnya.
Ramdansyah mengatakan, Jakarta itu adalah pintu masuk untuk pencalonan Pemilihan Presiden di tahun 2029. Ini seperti yang terjadi pada pak Jokowi di Pilkada DKI 2012. Jakarta dapat menjadi batu loncatan untuk pencalonan presiden.Keberadaan sebagai Gubernur DKI tentunya akan menambah kharisma selama 5 tahun ke depan.
“Nah siapa yang akan resmi dicalonkan, untuk Pilgub DKI Jakarta 2024, kita sepertinya juga harus menunggu sampai hari terakhir pendaftaran 29 Agustus 2024 Pukul 23.59. Karena konstelasi politik di Jakarta masih terus dinamis. Bisa saja pada hari terakhir pencalonan baru diumumkan. Seperti yang terjadi pada pilkada 2012 sebelumnya,” tandas Ramdansyah. (Agus)