Mamaku Perempuan Hebat, Junjung 700 Ikat Daun Singkong Lewati Jembatan Sungai Barumun

Umum2293 Dilihat

ADA kenangan pilu yang tak bisa aku lupakan. Ketika itu hari Selasa, saat itu hari masih gelap. Mama jatuh dan hanyut di sungai yang deras. Karena jembatan kayu yang mama lewati ambruk, disebabkan jembatan tak kuat memikul beban yang di atasnya ada mamaku.

Pada pagi itu, mama berangkat ke pekan di desa Tanjung, untuk jualan daun singkong dan cabe rawit. Jarak dari kampung kami ke pasar desa Tanjung sekira 5 Km.

Seperti biasanya, setelah seharian kami memetik daun singkong dan cabe rawit di kebun yang baru beberapa bulan kami buka, malam harinya kami sibuk mengikat daun singkong tersebut.

Satu ikatan sebesar pergelangan orang dewasa. Setiap kami panen minimal 700 ikatan. Biasanya, untuk 700 ikatan itu dibawa tiga orang dari kebun kami di gunung Halotan, yaitu ayah, abang Husni dan saya. Sementara mama bawa cabe rawit dalam sebuah kantong yang populer di kampung kami disebut haronduk.

Daun singkong sebanyak itu, disatukan dalam tikar dan diikat. Itu dipikul mama sendirian untuk dibawa ke pekan di pasar Tanjung. Nyaris tak terlihat kepala mama sangkin besarnya bungkusan daun singkong yang dipikul itu.

Setelah selesai shalat subuh, mama membawa 700 ikat daun singkong itu ke pasar dengan cara di jujung di atas kepala. Karena beratnya, untuk mengangkatnya ke kepala mama butuh dua orang.

Mama membawa daun singkong itu berjalan kaki melewati jalan setapak, licin dan berbatu. Bahkan mama harus menyeberang sungai Barumun yang arusnya deras.

Biasanya kalau hari baru hujan, air sungai Ulu Barumun naik, dan tak bisa dilewati. Saat itu belum ada jembatan. Karena memang sulit membangun jembatan. Sebab kalau sungai lagi banjir, batang sungainya bisa berpindah pindah.

Satu satunya jembatan, ada di hulu Barumun. Jika kita lewat jembatan terebut menambah jarak perjalanan sedikitnya 4 km. Banyak orang memotong jalan dengan menyeberangi sungai Barumun.

Itu sebabnya mama lebih memilih jalan memotong, menyeberangi sungai Barumun yang licin dan berbatu.

Setelah itu baru menelusuri tegalan sawah dan sebuah jembatan kayu yang diikat. Jembatan itu berjarak 10 meter dari pemandian perempuan desa Tanjung. Untuk sampai ke pasar di desa Tanjung harus melewati jalan menanjak.

Hari itu, setelah mama berhasil melalui jalan setapak, licin, berbatu, yang sangat sulit untuk dilalui oleh siapapun, mama masih menyeberangi anak sungai Barumun arusnya deras dengan beban yang sangat berat.

Setelah itu harus melewati jembatan kayu dekat pemandian perempuan desa Tanjung. Ketika mama sedang berada di atas jembatan, tiba tiba terdengar suara berderak dari jembatan kayu yang mama lalui.

Tak lama kemudian jembatan ambruk bersama mama, mama dan daun singkong, ….buurr, mama jatuh ke sungai. Ia hanyut, megap megap bersama daun singkong, serta cabe rawit yang akan dijual. Ia nyaris tenggelam.

Untung, ibu- ibu yang sedang mandi dan menyuci di sungai, mendengar teriakan minta tolong. Mereka segera datang memberi pertolongan.

Mama diselamatkan dengan dibopong dari sungai lalu dibaringkan di bantaran sungai. sebagian berusaha mengumpulkan daun singkong yang masih terselamatkan. Kemudian diantarkan ke rumah kaka kandung mama yang tinggal di desa Tanjung.

Sementara daun singkong dan cabe dagangan mama hanya sedikit yang terselamatkan. Selainnya hanyut dibawa arus sungai Barumun.

Empat jam setelah peristiwa jatuhnya mama ke Sungai, kami baru dapat kabar dari orang yang baru pulang dari pekan Tanjung.

Mendengarkan kabar yang memilukan itu, kami anak anaknya menangis, dan buru buru berangkat ke Tanjung untuk menjemput mama kami, terlentang lemah, kecapean di rumah uwak.

Setiap aku mengingat peristiwa itu, air mataku tak terbendung. Aku menangis, sedih, pilu.
Mama…. kau adalah perempuan perkasa. Kau korbankan kebahagianmu untuk mencurahkan kasih sayangmu kepada kami anak anakmu.

Mama….aku rindu padamu. Masih terngiang di telingaku ketika kau membacakan buku cerita dua orang anak yatim si Soriani si Somadun. Kedua anak malang itu terpaksa keluar dari rumah mereka yang ditempati pamannya karena nangudanya sangat kejam dan begis kepada mereka.

Mama, aku masih ingat, setiap kali membaca buku yang sudah lusuh itu, kau selalu menangis.

Mama aku masih ingat ketika kau menangis sambil mengayun adikku agar ia tertidur lalu kau berangkat ke sawah dan aku berperan menjaga adek.

Mama…aku tak bisa berbakti kepadamu. Aku hanya bisa memanjatkan doa dalam setiap doaku. Ketika aku bangun di tengah malam, aku tahajjud dan munajat. Semoga Allah melimpahkan kebaikan untukmu dan memasukkanmu ke dalam surga Jannatunnaim. (Imran Nasution).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *