JAKARTA, KORANBEKASI.ID – STKIP Kusuma Negara mengadakan seminar internasional (ICE) yang kedua, Sabtu, 21 Oktober.2023 di Jakarta. Keynote Speaker, Dr H Herinto Sidik Iriansyah, M.Si, Pembicara Prof Yinghuei Chen dari Asia Univeesity Taiwan, Dr. Rosmawijah Jawawi dari Universitas Brunei Darussalam, Prof. Dr. Johansyah Lubis, M.Pd dari Universitas Negeri Jakarta( UNJ), dan Dr Niken Vioreza, M.Pd dari STKIP Kusuma Negara.
Dr H Herinto Sidik Iriansyah dalam orasinya mengatakan, era disrupsi merupakan masa terjadinya inovasi dan perubahan secara massif, dari segi sistem dan tatanan pendidikan agar pendidikan di Indonesia terus maju. Perubahan yang sangat besar ini disebut dengan era disrupsi pendidikan. Fenomena disrupsi merupakan situasi pergerakan suatu hal yang tak lagi linier.
Era disrupsi memiliki beberapa ciri: perubahan yang massif, cepat, dengan pola yang sulit tertebak. Perubahan yang cepat menyebabkan ketidakpastian, terjadinya kompleksitas hubungan antar factor penyebab perubahan, kekurang jelasan arah perubahan yang menyebabkan ambiguitas.
Pada era ini, teknologi informasi telah menjadi basis atau dasar dalam kehidupan manusia termasuk dalam bidang Pendidikan, sehingga terjadilah kemudian disrupsi Pendidikan.
Guru profesional era disrupsi yakni guru yang akan lebih cakap mengubah pelajaran yang membosankan dan tidak inovatif menjadi pembelajaran multi-stimulan sehingga menjadi lebih menyenangkan dan menarik. Untuk itu dalam melaksanakan literasi digital sekaligus mewujudkan guru disrupsi, guru harus memulai mengubah cara mengajar, meninggalkan cara lamanya serta fleksibel dalam memahami hal-hal baru dengan lebih cepat.
Di Era disrupsi bukan hanya peserta didik, tetapi guru, dan dosen pun juga harus memiliki ketrampilan abad 21. Karena tidak mungkin guru dapat melatih ketrampilan tersebut kepada peserta didik jika gurunya sendiri belum menguasainya. Guru harus memiliki kompetensi yang kuat, memiliki softskil yaitu; berpikir kritis, kreatif, komunikatif dan kolaboratif. Peran guru sebagai teladan karakter, menebar passion dan inspiratif. Inilah peran yang tak akan dapat digantikan oleh teknologi.
Tantangan terbaru dalam menghadapi arus disrupsi menuntut setiap orang untuk melakukan inovasi dalam segala hal. Lahirnya generasi milenial yang begitu akrab dengan gadget cukup mendapatkan respon positif dari dunia pendidikan, munculnya tren baru dalam proses pembelajaran hingga muncul kelas-kelas online jarak jauh yang didukung dengan jaringan internet, memaksa tenaga pendidik harus melakukan proses pembelajaran yang inovatif dan kreatif agar penyampaian materi terkesan tidak monoton, siring dengan kemajuan teknologi yang harus bergerak secara massif tentu membawa dampak yang negative karena terpisahnya pembelajaran dari ruang kelas sehingga berdampak dengan hilangnya nilai humanisme, kebudayaan dan social religious pada diri peserta didik. Dampak positif dari era ini juga memunculkan nilai kreatifitas dan daya saing yang tinggi, munculnya bimbingan belajar yang berbasis online seperti rumah belajar ataupun yang lainnya menjadi jawaban dan tanggapan yang positif dalam menyesuaikan dengan jaman. Jika pada jaman dulu Pendidikan terpusat pada guru, diera disrupsi ini proses pembelajaran berubah menjadi terpusat pada peserta didik.
Untuk itu gurupun dituntut agar tetap memperhatikan nilai humanisme dalam proses pembelajaran sehingga proses pembelajaran tidak tercabut dari akarnya.
Perubahan sistem pendidikan yang baru di sekolah diperlukan persiapan yang sangat matang dan efektif. Berikut ini tips untuk menghadapi era disrupsi pendidikan:
Peka terhadap informasi baru: Untuk menghadapi era disrupsi pendidikan, sekolah harus peka terhadap informasi terbaru dan perkembangan dunia pendidikan. Guru-guru dapat dilibatkan untuk bergabung dengan komunitas atau pelatihan guru agar mengetahui perkembangan dunia Pendidikan dan inovasi terbaru yang sekiranya cocok diterapkan di sekolah.
Berani ciptakan inovasi baru: Para guru harus siap memberikan berbagai inovasi terbaru dan berani untuk menerapkannya di sekolah atau bahkan dapat digunakan sebagai bahan penelitian oleh para pendidik yang ada di Indonesia. Dengan menciptakan inovasi pendidikan yang efektif dan memiliki dampak baik, maka bisa jadi sekolah akan dapat menjadi model bagi sekolah lainnya.
Lakukan kolaborasi: Tentunya dalam pembuatan inovasi Pendidikan tidak bisa dilakukan seorang diri. Sekolah dapat melibatkan peran guru, murid dan bahkan orang tua murid untuk melakukan kolaborasi bersama untuk menciptakan inovasi pendidikan yang baik dan efektif. Contohnya adalah dengan proses belajar matematika yang digabungkan dengan seni budaya agar pembelajaran matematika yang tadinya terlihat menakutkan menjadi lebih asyik dan menarik, serta seru untuk dipelajari. Atau dengan cara mengajak para murid untuk terlibat dalam sebuah penelitian ilmiah agar menikmati proses penelitian dengan melibatkan orang tua.
Ubah pola pikir: Pola pikir dalam menghadapi era disrupsi pendidikan ini kerap kali mengambil kapasitas seseorang dalam mengambil kesimpulan dan memecahkan permasalahan. Sehingga Ketika ada perubahan sistem pendidikan, guru-guru tidak mau mengikuti dan masih menggunakan cara lama untuk mengajar. Oleh karena itu, mengubah pola pikir mengikuti perkembangan jaman sangatlah penting.
Manfaatkan teknologi pendidikan: Pemanfaatan teknologi di sektor pendidikan adalah poin utama yang bisa diterapkan oleh seluruh sekolah. Denggan memanfaatkan tekhnologi yang tepat, proses belajar mengajar tidaklah menjadi tantangan berat.
Terjadinya disrupsi pendidikan, akan berlanjut terhadap disrupsi pembelajaran terhadap peserta didik. Era disrupsi pembelajaran membawa peserta didik pada berbagai kemudahan dalam belajar. Mindset belajar bukan lagi tentang proses interaksi langsung antara siswa dan guru. Melainkan telah bergeser menjadi proses tunggal mencari tahu dari segala sumber. Gaya maupun cara baru untuk belajar di era digital ini merupakan dampak dari tersedianya produk-produk IPTEK dan tren global yang mengemuka. Peserta didik pada era ini, adalah user-user otodidak yang sangat mengandalkan teknologi dalam menjalani aktivitas belajarnya sehari-hari. Adanya internet, memudahkan siswa dalam megakses informasi. Mereka dapat menemukan apa saja di dunia maya, sesuai dengan kesenangan dan keinginannya.
Fakta ini menimbulkan ketergantungan akut terhadap internet. Belum lagi keterbatasan situasi saat ini, yang mengurangi kesempatan mereka untuk terlibat dalam diskusi Bersama teman sebaya. Pada akhirnya mereka cenderung mudah skeptis dan memiliki ketertarikan untuk menyendiri. Keadaan seperti ini berpotensi mengurangi hubungan humanis antara guru dengan murid, sebab perannya telah banyak tergantikan oleh teknologi. Selain itu, kepekaan dan kemampuan bersosialisasi anak juga terancam terdegradasi. Egosentris akan sangat mudah tumbuh jika akses terhadap lingkungan, brkurang atau terbatas. Fenomena disrupsi pembelajaran ini muncul dan dihidupi oleh peserta didik itu sendiri. Sebagai generasi neo-milenial, mereka memiliki kecenderungan individualistis, berjiwa bebas, mampu multitasking, dan tentunya sangat akarab dengan teknologi. Dengan kondisi tersebut, peserta didik secara otomatis akan mudah larut pada pusaran disrupsi.
Pendidikan secara umum akhirnya mengalami pergeseran karena disrupsi pembelajaran. Bagimanapun juga, internet maupun media online hanyalah tools untuk belajar. Konten internet bisa saja membuat siswa mengetahui segala hal, namun tidak cukup mampu untuk membekalinya kecerdasan social.
Ketua Panitia ICE Dr Hj Sri Rahayu Pujiastuti, M.Pd mengatakan seminar diikuti peserta di dalam negeri dan luar negeri. Selain itu, seluruh mahasiswa mahasiswi peserta ICE 2 Calon Wisudawan-Wisudawati STKIP Kusuma Negara masing – masing dari Prodi:
1. Pendidikan Bahasa Inggris;
2. Pendidikan Matematika;
3. Pendidikan PKN;
4. Pendidikan Guru Anak Usia Dini;
5. Pendidikan Guru Sekolah Dasar;
6. dan, Pendidikan Olahraga. (nor)