MASYARAKAT Bugis disebut pelaut tangguh. Kenapa demikian? Rupanya mereka memegang teguh filosofi hebat, seorang pelaut begitu memasuki pantai dan air laut melewati dengkulnya (bonom tot), maka ia “haram’ kembali ke darat, meski tiba-tiba ada informasi di tengah laut ada badai besar, dan gulungan ombak yang terasa dahsyat.
Kalau tadinya masih ragu, mending bertahan di darat. Jangan memasuki pantai. Sebab begitu maju, pantang surut.
Kemudian, begitu berlayar para awak kapal diharuskan kompak. Jangan terpecah, mengingat yang dihadapi ombak besar. Kalau terjadi sesuatu, satu menguasai layar, yg lain membuang air di saat yang lainnya menambal kebocoran perahu.
Prinsip kekompakan di atas kapal tersebut berlanjut ke darat. Karena satu nasib di kapal, di darat pun mereka tetap kompak, saling berbagi dan tolong menolong.
Lihat saja Jusuf Kalla, misalnya, banyak memboyong kerabatnya dari daerah untuk berkiprah di panggung nasional. Di perantauan pun mereka begitu kompak dan kuat yang tergabung dalam wadah Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan, KKSS.
Saya pun mengaitkan budaya kekompakan itu ke kampung ku Padang Bolak, Paluta, Sumatera Utara. Kalau Bugis dicirikan ketangguhan pelautnya; Romawi dicirikan dengan kekuatan tentaranya;; Yunani dicirikan dengan kehebatan filsufnya; Padang Bolak/Paluta terkenal dengan kekuatan marsialaparinya (saling bergilir mengerjakan sawah, semacam arisan).
Masyarakat Paluta itu menjunjung tinggi adat Dalihan Natolu, yakni hormat marmora, akrab markahanggi; elek maranak boru. Aek lalu, batu so, zaman boleh maju, tetapi adat dalihan natolu tetap dipertahankan. (Erman Tale Daulay, Owner Bincang Tipis-tipis)