Problematik Budaya Politik Digital Kita: Membenci & Mencela yang Berseberangan

Opini840 Dilihat

DI era digitalisasi saat ini, politik dan media sosial bisa dikatakan memiliki hubungan yang cukup kompleks. Apalagi keberadaan media sosial tak ubahnya pedang bermata dua: menghadirkan manfaat sekaligus mudarat. Dalam konteks politik, manfaat media sosial hanya sebatas sebagai media interaktif antara publik dan elit politik, atau media informasi dan kampanye. Sementara itu, manfaat media sosial sebagai corong untuk mengekspresikan kritik kepada pemerintah masih belum dapat dikatakan optimal mengingat banyak yang berakhir dengan jeratan UU ITE. Belum lagi, di masa-masa menjelang pesta demokrasi seperti Pilkada maupun Pilpres, media sosial menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya polarisasi di masyarakat. Kondisi ini pun pernah diaminkan oleh Anggota Bawaslu, Herwyn JH Malonda.

Polarisasi yang terjadi di media sosial mendasari bagaimana publik yang berbeda pandangan dan pilihan politik seolah tak bisa menerima perbedaan pilihan. Hal yang sangat tampak di media sosial seiring dengan maraknya ujaran kebencian. Cohen mendefinisikan ujaran kebencian sebagai ucapan bermotif bias, permusuhan, dan jahat yang ditujukan kepada kelompok atau seseorang. Dalam konteks ini, ujaran kebencian bentuknya beragam, seperti memprovokasi, menghina dari aspek SARA, hingga merendahkan individu maupun kelompok lain. Bisa dipastikan, sosok-sosok elit politik yang tengah berkompetisi di Pilkada maupun Pilpres tak luput dari objek ujaran kebencian ini.

Budaya bermedia sosial kita dalam konteks politik memang terbilang unik. Kita begitu mudah memuja dan memuji, sekaligus mudah kecewa dan membenci dalam waktu yang relatif singkat. Agaknya saat ini bukan hal yang asing lagi bila publik memuja dan memuji siapa pun sosok yang berada pihaknya, dan mudah membenci pada mereka yang berada di barisan berbeda. Konsep kawan dan lawan seperti sudah dilegitimasi. Sebuah pandangan yang membangun stereotipe di dalam dirinya bahwa pihak lain tidak lebih baik dan benar daripada pihaknya.

Sesuatu yang bisa kita temukan dalam kontestasi Pilpres 2014, 2019, dan 2024. Penulis sangat yakin bahwa hampir setiap dari kita masih ingat bagaimana sikap para pendukung Joko Widodo (Jokowi) terhadap Prabowo maupun sebaliknya pada edisi Pilpres 2014 dan 2019. Persaingan keduanya termasuk yang terpanas pada kontestasi Pilpres dalam beberapa dekade, sampai-sampai muncul julukan cebong-kampret. Namun, kita dapat lihat saat ini, para pendukung Jokowi menjadi yang terdepan dalam membela Prabowo Subianto.

Nasib yang berbeda dialami oleh Anies Baswedan, yang semula dipuja-puji oleh pendukung simpatisan Jokowi saat masih menjadi tim sukses pada Pilpres 2014 maupun saat menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 2014-2016. Dia berubah menjadi target ujaran kebencian ketika memutuskan untuk maju di Pilgub DKI Jakarta 2017 dan terlebih saat di Pilpres 2024.

Ujaran kebencian, dapat dikatakan sebagai bentuk ekspresi ketidaksukaan terhadap seseorang yang dituangkan melalui media sosial. Umumnya muncul karena ketidakmampuan kita dalam menanggapi maupun membalas opini orang lain yang tidak sepemahaman dengan kita secara objektif, sehingga kita melampiaskannya dengan menyerang personalnya, bukan pada pokok bahasan. Kondisi tersebut lebih dikenal sebagai logical fallacy atau cacat logika, yaitu kesalahan berlogika yang berasal dari asumsi-asumsi yang keliru (Browne dan Keely, 2007).

Gaung Program Literasi Digital Perlu Menyentuh Masyarakat Umum Hingga Pejabat Publik
Menurut Profesor Junior Anna Sophie Kümpel dari Institut Media dan Komunikasi TU Dresden, mudahnya kita menemukan perdebatan di media sosial menjadi salah satu faktor mengapa ujaran kebencian begitu marak terjadi di media sosial. Memang, lingkungan digital memiliki tantangan sekaligus permasalahan pelik yang perlu untuk segera kita atasi bersama apabila kita ingin lingkungan digital yang jauh lebih sehat dan tentram.

Tantangan pertama, tentu saja algoritma media sosial yang memungkinkan penggunanya untuk mendapatkan konten serupa sesuai dengan perilakunya. Algoritma yang kelak disebut sebagai Filter Bubble, istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh Eli Pariser di dalam bukunya The Filter Bubble How The New Personalized Web Is Changing What We Read And How We Think (2011). Algoritma inilah yang membawa kita sebagai pengguna media sosial selalu menemukan unggahan yang serupa di explore atau beranda media sosial dengan apa yang sering kita like, komen, atau share sebelumnya. Sifat algoritma yang membawa kita terjebak pada sebuah lingkungan bernama Echo Chamber.

Pada akhirnya, kita hanya menemukan informasi atau pendapat yang sama dengan pendapat kita sendiri. Kondisi itulah yang sering kali membuat kita ‘terjebak’ pada logika dan pemahaman yang salah, seperti membentuk kepercayaan bahwa apa yang kita yakini turut didukung oleh banyak orang, bahkan kita begitu yakin telah berada di ‘suara mayoritas’.

Tantangan berikutnya adalah kemunculan akun-akun anonim yang kerap dikaitkan dengan buzzer. Anonimitas di media sosial, menurut Profesor Junior Anna Sophie Kümpel, membuat kita kehilangan isyarat sosial untuk bisa lebih sopan dan ramah terhadap orang lain, sehingga lebih mudah bagi kita untuk menghina orang lain di media sosial. Hal itu terjadi karena kita tidak benar-benar tahu dengan siapa kita berinteraksi.

Kondisi ini turut diperparah dengan rendahnya literasi digital di kalangan elit politik maupun pejabat. Mereka kerap menjadi pemantik bara yang apinya sulit dipadamkan dengan berbagai narasi yang cenderung berbentuk ujaran kebencian di media sosial. Mungkin inilah pentingnya program literasi digital tak hanya menyasar masyarakat umum. Karena bisa jadi para pejabat dan elit politik kita termasuk ke dalam kelompok yang mendapatkan skor literasi digital rendah.

Ekonom Senior INDEF, Aviliani, di awal tahun 2023 sempat menyatakan bahwa tingkat literasi digital di Indonesia hanya 62%, sedangkan rata-rata negara ASEAN mencapai 70%. Tapi bila merujuk pada hasil survei kolaborasi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama Katadata Insight Center (KIC) yang dirilis pada November 2023 lalu, literasi digital Indonesia terus mengalami peningkatan dibandingkan dua tahun sebelumnya.

Tahun lalu, nilai total indeks literasi digital Indonesia berada di level 3,65 dari skala 1-5 poin. Angka ini termasuk kategori “tinggi”. Meskipun demikian, ada satu variabel indikator yang perlu menjadi perhatian, yaitu digital culture yang justru mengalami penurunan dari tahun ke tahun . Padahal pilar tersebut mengukur kebiasaan pengguna internet dalam membuat unggahan dengan mempertimbangkan perasaan pembaca, baik dari suku, agama maupun pandangan politik yang berbeda. Artinya, kesadaran kita untuk menjaga perasaan orang lain, salah satunya dengan tidak mengunggah sesuatu yang terindikasi sebagai ujaran kebencian dengan menyinggung dan memprovokasi pihak lain dalam konteks politik terus mengalami penurunan. Tentunya, ini menjadi tugas pemerintah dan kita bersama untuk terus meningkatkan seluruh pilar literasi digital demi menghadirkan iklim politik digital yang positif. Itu pun bila pemerintah dan kita semua peduli. (Rahardian Shandy Ekohandito, M.I.Kom (Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina Jakarta, aktif untuk mengajar di kampus Cikarang, Bekasi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *