SETIAP lebaran tiba teman-teman Andrian yang bekerja di kota pulang ke desa. Penampilan, gaya bicara, sikap sudah tidak seperti dulu. Berubah, selalu mengobrolkan kondisi dan suasana kota. Gemerlap kota menjadi pesona menjanjikan sejuta harapan untuk mendapatkan pekerjaan, mewujudkan mimpi-mimpi. Sedangkan Andrian hanya tinggal di desa, berladang, membajak sawah, mencari kayu bakar ke hutan. Berjilid-jilid tanya tentang perubahan teman-temannya tidak membuat Andrian berhenti untuk menelisik: Ada apa ini? batin Andrian.
Ketika teman-temannya kembali ke kota, Andrian berangkat ke kota untuk mengadu nasib dan keberuntungan, tanpa sepengetahuan teman-temannya. Sedikit skill yang Andrian punya ketika dienyamnya di SMA. Di kota, pekerjaan silih berganti Andrian lakoni seperti tukang parkir, CS, OB.
Suatu sore, ketika Andrian sedang menikmati suasana jalanan kota, Andrian melihat teman-temannya di bawah gedung-gedung megah menjulang cakrawala sedang menjajakan aneka minuman menggunakan sepeda. Salah satunya bekerja di toko pakaian di Pasar Senen.
Berjilid-jilid tanya Andrian kini terjawab: “Teman-temanku kalau pulang ke desa keren-keren, obrolannya tak seindah kenyataan,” renung Andrian.
Terakhir Andrian ditawari admin komputer perkantoran. Namun Ia tidak mengambilnya, Ia lebih nyaman kembali ke desa karena di desa cintanya tidak gersang berada di tengah-tengah orangtua. Jarum jam bergulir, jantung berdegup. Asap, debu, hujan yang membanjiri kota selimuti awan merambat. Andrian meninggalkan kota yang penuh kebisingan, harapan bias. Kota bukanlah segalanya, keluargalah segalanya. (Yoni Haris Setiawan, Trainer & Motivator Literasi Indonesia PPQM)