TAPERA, Berhentilah Mendera Para Pekerja !

Umum943 Dilihat

SUDAH cukup banyak potongan gaji para pekerja. Mulai BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, potongan untuk tabungan hari tua dan masih ada lagi potongan-potongan lainnya. Kini, muncul kebijakan pemotongan, bernama TAPERA (tabungan perumahan rakyat).

Belum cukupkah, kaum pekerja didera dengan potongan-potongan itu? Berapa rupiah sisa gaji yang bisa dinikmati untuk dirinya dan keluarganya? Jika ia hanya bergaji UMR, tidak punya hak-kah para pekerja untuk menikmati pendapatan rutinnya secara cukup atau wajar untuk memenuhi kebutuhan hidup per bulannya?

Demikian, Bang Haji Setiadi (BHS) pempertanyakan dengan penuh prihatin dan empati atas kebijakan yang diluncurkan pemerintah kepada kaum pekerja. Mereka yang banting tulang tanpa henti harus didera dengan himpitan ekonomi atas nama tabungan, sementara mereka harus menghadapi harga pangan dan jasa yang terus melonjak.

Sepintas tujuan TAPERA terlihat memihak pada rakyat, namun yang perlu kita soroti lebih jauh – lanjut pemerhati permasalahan Kota Bekasi ini – TAPERA belum jelas penerapannya. Bagaimana dengan para pekerja yang sudah memiliki rumah pribadi? Haruskah tetap dipotong gajinya untuk TAPERA itu? Ketidakjelasan itu jelaslah sebuah kelemahan, bahkan menimbulkan pertanyaan dibalik pemaksaan kebijakan TAPERA.

“Jika kita tengok data dana BP TAPERA, terdapat sekitar empat jutaan peserta. Dari jumlah ini, sekitar 129.960 pensiunan belum diselesaikan hak-haknya. Jumlah ini memang jauh tidak seimbang dibanding peserta BP TAPERA. Tapi, sekecil apapun jumlah pensiunan yang menjadi peserta TAPERA harus dipenuhi haknya. Data belum terpenuhinya hak para pensiunan itu merupakan kelalaian yang tak dapat ditoleransi,” papar BHS.

Kini – lanjut BHS – kita perlu menerawang jauh ke depan. Andai seluruh pekerja harus mengikuti TAPERA, maka jumlahnya jutaan orang. Dari data pensiunan yang lalai dipenuhi haknya, menimbulkan pertanyaan, akan berapa juta orang pensiunan yang akan menjadi korban? Hal ini lagi-lagi Pemerintah seperti membuka celah bagi masyarakat berprediksi negatif.

Untuk menghindari prediksi negatif itu, maka perlu dipertimbangkan kembali kebijakan ini dan sedini mungkin harus dicegah jumlah korban dari kaum pekerja itu. Sikap ini menjadi krusial, agar jangan sampai terjadi korban jutaan pekerja yang menderita lagi akibat kebijakan ini. Tak bisa dipungkiri, TAPERA sarat dengan potensi terjadi penyimpangan pengelolaannya (rentan koruptif).

Menghadapi kebijakan TAPERA, BHS yang juga sudah berkomunikasi dengan para aktifis pekerja dan pengusaha menyampaikan beberapa pokok pemikiran solutif. Pertama, pemerintah perlu mereview kebijakan yang tidak populis dan berpotensi besar merugikan kepentingan rakyat, khususnya para pekerja.

Kedua, sistem pengawasan dan kontrol keuangan harus dilakukan super ketat. Ketiga, pemilihan para pengelola di BP TAPERA haruslah selektif dan harus benar-benar teruji integritasnya (track recordnya): anti korupsi. Keempat, Pemerintah Daerah, harus bisa membuat kebijakan yang mengarah pada upaya mengcover dana TAPERA. Dan kelima, Pemerintah daerah juga perlu mengeluarkan instruksi kepada korporat (pihak swasta) untuk meringankan keuangan para pekerja dengan cara mengcover dana TAPERA.

“Kebijakan Pemerintah Daerah tersebut menunjukkan sikap perlindungan dan keberpihakan terhadap kepentingan pekerja. Perlindungannya sesungguhnya merupakan kebijakan retribusi dari PPh atau PPN yang selama ini dikeluarkan para pekerja, dan itu masuk ke pendapatan asli daerah (dispenda). Cukup adil dan manusiawi. Itulah cara menghargai atau berterima kasih kepada rakyat, yang – dalam kaitan TAPERA ini – kepada para pekerja,” papar BHS penuh keberpihakan, sembari menjelaskan, keberpihakan kepada rakyat adalah keharusan bagi sang pemimpin. (Chandra Prabantoro)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *