BEBERAPA hari lalu, Pj Walikota Bekasi Raden Gani Muhamad menyampaikan, Pemerintah Pusat menyoroti secara khusus tentang kemiskinan ekstrim di Bekasi Kota. Arahnya jelas: Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi harus mampu menyelesaikan krisis kemiskinan itu.
“Itulah pernyataan Pj Walikota Bekasi Raden Gani Muhammad, yang layak dicermati serius. Tentu, bukan sekadar menyoroti, tapi bagaimana memberikan kerangka solusi. Model solusinya pun bukan parsial. Tapi, haruslah terencana dan sistematis. Harus di-back up juga kemauan politik yang kuat dari unsur Pemkot dan lembaga legislatif (DPRD Kota Bekasi). Lembaga legislatif harus ikut serta, karena terkait dengan politik anggaran. Sikap dan tindakan konkret itu agar problem kemiskinan ekstrim ini benar-benar terselesaikan di tengah Bekasi Kota ini,” catat Mohamad Setiadi Dermawan Wakan yang akrab dipanggil Bang Haji Setiadi (BHS).
Menurut data mutakhir, angka kemiskinan Bekasi Kota mencapai 129.400 ribu jiwa (7,9%) dari jumlah penduduk. Tingkat kemiskinan Bekasi Kota tampaknya banyak dipengaruhi oleh tingkat inflasinya yang tergolong tinggi: mencapai 2,92%, melebihi tingkat inflasi Provinsi Jawa Barat, yakni 2,38%. Juga, faktor tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang mencapai 7,90%. Sebanyak 140.170 jiwa sebagai TPT. Kebanyakan dari anasis lulusan SLTA.
BHS memberi masukan, untuk mengatasi kemiskinan ekstrim memang perlu kerja keras dari jajaran Pemkot. Kemauan politik ini tentu bagus. Tapi, perlu langkah yang yang terencana dan sistimatis. Pendekatannya bukan sekedar distribusi bantuan sosial (bansos), tapi harus dihadirkan program pemberdayaan ekonomi, bersifat kewirausahaan.
“Tentu, Pemkot sudah punya peogram pemberdayaan ekonomi itu, tapi tampaknya belum sistimatis”, ujar BHS yang kini digadang-gadang untuk tampil sebagai pemimpin Bekasi Kota, sembari menambahkan, “Langkah sistimatis itu haruslah didasarkan konsep pemberdayaan yang jelas target dan sasarannya.”
Target dan sasaran tersebut – lanjut BHS – program itu harus memilih siapa yang disasar, dari aspek pelaku ekonomi dan pasar mana yang perlu dibidik. Dalam hal ini layak kita diskusikan untuk mengimplementasikan penguatan ekonomi berbasis rumah tangga. Mereka perlu difasilitasi kegiatan ekonominya dengan konsep home industry (industri rumahan). Ketika setiap RW akan mendapatkan dana hibah, katakanlah Rp100 juta, maka hibah ini harus didesain alokasinya ke upaya penguatan industri rumahan itu. Setiap RW berkewajiban moral untuk menghadirkan unit-unit kegiatan ekonomi rumahan, melindunginya, serta mengawasi perkembangannya. Setiap Ketua RW – pada forum RW se kelurahan, kecamatan dan bahkan se-Kotamadya – perlu diambil sikap pembagian produk ekonomi.
“Pembahasan dan pembagian produk ekonomi penting dibahas. Agar tidak terjadi tabrakan antar produk”, ujar BHS sembari menambahkan bahwa Pemkot harus memfasilitas proses pengembangannya. Dalam hal ini, Pemkot perlu memberikan kebijakan proteksi kepada setiap produk industri rumahan itu. Bentuk perlindungannya – pertama – menjaga produk rumahan dari produk-produk pesaing asal industri-industri besar (industrialized product). Kedua, Pemkot haruslah mampu menyediakan sarana penjualan, seperti café dan lain-lain. Jajaran Pemerntahan – dari Pemkot, Kecamatan dan Kelurahan layak memikirkan kantin atas nama koperasi yang banyak diisi oleh para pelaku industri rumahan. Inilah penyediaan sarana yang tidak kecil anggarannya, di samping unsur permodalan.
Kami yakin – tambah BHS – jika model solusinya terencana dan sistimatis, maka kemauan politik itu akan mampu mengatasi kemiskinan ekstrim di tengah Bekasi Kota. Bukan sekedar jargon anti kemiskinan. Di sinilah urgensi hadirnya sang pemimpin (walikota dan wakil walikota) yang peduli dan prihatin terhadap kemiskinan ekstrim. Kepeduliannya menjadi panggilan jabatan yang memang harus amanah. Ada pertanggungjawaban di mata umat manusia dan Tuhan YME kelak. (Chandra)