Haruskah Anies Baswedan Kembali untuk Jakarta?

Politik649 Dilihat

Oleh Agus Wahid

USAI pemilihan presiden (pilpres) 2024, masyarakat pecinta Anies Baswedan mendesaknya untuk tetap berada dalam baris perjuangan. Desakan itu menggambarkan reaksi ketidakrelaan jagoannya “disingkirkan” secara culas, penuh rudapaksa secara sistemik dan terstruktur. Boleh jadi, reaksi ini subyektif. Namun, ketika masyarakat internasional juga mengkritisi jalannya perhelatan pilpres yang penuh tricky dan tidak demokratis itu, hal tersebut menunjukkan keabsahan penilaian tentang praktik keculasan dalam kontestasi pilpres itu.

Yah, itu kisah masa lalu yang kelam. Yang perlu kita catat lebih jauh, ketersingkiran Anies Baswedan dari posisi ideal untuk Presiden RI ke-8 merupakan kerugian besar bagi anak bangsa dan negeri ini. Namun demikian, pasti ada hikmah di balik ketertundaan keberhasilan itu. Sangat boleh jadi–dalam pemikiran positif–Alloh lebih mengarahkan sosok Anies Baswedan untuk memimpin kembali Jakarta. Betul saja. Usai pilpres, masyarakat Jakarta dan sejumlah elit partai politik melirik Anies Baswedan untuk diusung pada pilkada Jakarta 2024 ini.

Memang, terdapat tarik-menarik untuk menentukan calon gubernur (cagub) yang harus diusung. Para elit parpol tentu punya kepentingan strategis, terkait positioning elektoral partainya, atau lainnya yang bersifat pragmatis dan bahkan ideologis. Dua kepentingan strategis itulah yang membuat sejumlah elit partai menimbang dan menimbang manfaat strategis mengusung Anies dalam pilkada Jakarta 2024.

Menjadi menarik lagi untuk kita soroti ketika PDIP yang selama ini mengkritisi Anies secara miris, berubah menjadi respek positif. Hal ini mengundang tanya bagi kalangan tertentu. Namun, yang dapat kita baca dengan jelas, ada kalkulasi politik yang sarat dengan muatan ideologis. Di antaranya, langkah politik PDIP yang sudah jengah bahkan jijik sejalan dengan politik dinasti yang dibangun Jokowi.

Yang perlu dicatat, bukan hanya persoalan persaingan politik di antara pimpinan PDIP versus Jokowi, tapi nasib Bangsa dan Negara ke depan yang membahayakan jika membiarkan manuver politik Jokowi. Sikap politik idealistik ini tentu harus menjadi landasan politik yang harus kita hormati dan kita dukung. Kepentingan nasional jangka panjang menjadi “sesuatu” yang krusial bagi kondisi daerah yang berujung pada kondisi nasional.

Atas dasar pertimbangan politik nasionalisme itu pula, maka Anies menjadi figur penting untuk diperjuangkan secara riil: duduk kembali memimpin Jakarta. Namun begitu, kalkulasi politik idealistik sebuah partai politik tetap tak akan lepas dari kepentingan pragmatisnya. Itu tercermin dari tarik-menarik dalam konteks siapa wakil gubernurnya. Satu posisi harus diperebutkan beberapa partai yang menyodorkan kader terbaiknya. Tantangan serius. Dilematis. Berpotensi mengancam sikap yang sudah mengerucut pada diri Anies sebagai satu-satunya cagub Jakarta yang disepakati beberapa partai pengusung itu. Tapi, itulah dinamika politik. Wajar.

Kita bisa memprediksi, sejalan dengan cara pandang politik idealistik ke depan bagi kepentingan Negara, maka sikap tarik-menarik yang sangat pragmatis itu akan cair. Pada akhirnya, persoalan wakil gubernur diserahkan sepenuhnya kepada Anies Baswedan. Dan Anies tentu akan menghitung berbagai variabelnya, dari sisi pengaruh elektoral dan prospektus kemenangan, kekuatan persenyawaan kimia politik antar partai pengusung ke depan. Koalisi ini sangat besar pengaruhnya untuk efektivitas kebijakan yang kelak disusun dan dijalankan. Masih banyak anasir yang harus dianalisis secara jernih.

Andai, beberapa partai yang terlihat saat ini (PKS, PKB, PDIP dan PPP) terealisasi mengusung Anies, maka prospektus kemenangan Anies sudah di depan mata. Dan makna yang lebih krusial adalah dominasi keempat partai pengusung di parlemen (DPRD Provinsi Jakarta). Dengan jumlah total empat partai itu sebanyak 44 kursi yang ada parlemen itu, maka roda pemerintahan Anies akan jauh lebih efektif, bahkan produktif.

Kita masih ingat masa pemerintahan Anies periode 2017 – 2022 sering “diganggu” oleh fraksi PDIP dan PSI. Di tengah penggangguan yang tak pernah henti itu saja, Anies Baswedan masih mampu menghadirkan kinerja terbaiknya, apalagi parlemen berhasil dikuasai pro Anies, meski belum mencapai 50% lebih dari total 106 kursi DPRD Provinsi Jakarta. Maka, tidak tertutup kemungkinan, kinerja Anies masa bakti 2024–2029 akan jauh lebih kemilau.

Makin cemerlang cahayanya jika selama semasa baktinya normal. Tidak terjadi kondisi yang unpredictable seperti pandemi covid-19. Adanya pandemi saja, Anies mampu mengukir prestasi, apalagi pandemi tak menghampirinya. Kita dapat memprediksi, capaian Anies mendatang jauh lebih besar. Cukup membanggakan bagi warga Jakarta. Juga, akan bermakna strategis bagi kepentingan nasional. Wujudnya? Kebijakan daerahnya yang siap menghadang hidden agenda Jokowi dan kaum oligarki yang siap diselipkan pada Wapres Gibran. Inilah potensi prestasi politik ideologis yang harus dicatat dengan tinta emas.

Sebuah renungan, apakah Anies mengeksploitase kebutuhan prinsipil sejumlah partai itu? Simpel jawabannya: Anies bukanlah prototipe manusia ambius yang haus kekuasaan yang bersifat pragmatis. Yakni, untuk kepentingan pribadi. Itulah sebabnya, Anies menolak politik “zig-zag” yang menyodorkan Kaesang sebagai cawagubnya. Anies sadar, politik “zig-zag” itu mencederai prinsip demokrasi. Juga, sangat disadari, penyodoran Kaesang merupakan jebakan maut untuk memposisikan Anies tergelincir citranya. Arahnya jelas: menggagalkan Anies dalam kontestasi Jakarta.

Bagi Anies, kekuasaan itu memang perlu dan penting. Tapi, sebagai artikulasi menterjemahkan kebijakan yang memberi manfaat besar bagi rakyat. Cara pandang dan prinsip inilah yang membuat Anies ikhlas menerima pinangan atau amanat beberapa partai yang memintanya. Jadi, sosok Anies Baswedan bukan tipe “peminta-minta”, tapi siap menjalankan dengan penuh dedikasi dan pertanggungjawaban ketika diberi amanah.

Jika kita flash-back ke belakang saat mau maju pilkada DKI Jakarta 2017, ibundanya (Prof. Dr. Aliyah) menanyakan, “apakah maju pilkada DKI Jakarta keinginan Anies, atau masyarakat? Jika keinginan Anies, tak usah maju. Tapi, jika keinginan masyarakat, permintaan itu harus dihormati. Itu amanat”.

Nasihat ibundanya tetap dipegang teguh oleh Anies. Dalam pilkada Jakarta saat ini pun tak beda. Seusai pilpres, Anies ingin “istirahat”. Tak mau berpolitik lebih jauh. Tapi, fakta bicara. Desakan publik demikian gencar. Atas nama misi besar memperjuangkan perubahan yang tak boleh henti atau surut, maka Anies harus tetap dalam panggung politik. Untuk merawat garis perjuangan yang sudah dibangun. Itulah yang membuat Anies menilai bahwa desakan itu merupakan amanat yang dipercayakan pada dirinya. Kembali pada prinsip, “ketika diberi amanat, haruslah diterima dengan penuh rasa tanggung jawab. Sebagai sikap menghormati orang-orang yang memberikan amanat”. Sikap ini pula yang kini berlangsung dalam memasuki kontestasi pilkada Jakarta 2024 ini.

Sementara itu, Anies juga menyadari, pasca ditinggalkan sejenak, ada sejumlah kebijakan yang sudah terukir di tengah DKI Jakarta, diacak-acak atau dirusak. Hal ini mengkibatkan kerugian bagi warga Jakarta. Ada ketidakadilan yang cukup menyayat dari sisi kemanusiaan. Seperti yang terjadi pada warga Kampung Bayam. Bangunan hunian sudah selesai. Tinggal mengatur untuk penyerahan kunci dan warga siap memasukinya. Ternyata, Plt. Gubernur yang meneruskan, tidak mengizinkan pemakaian bagi warga Kampung Bayam itu. Menyedihkan. Tapi, hal ini menambah motivasi Anies yang tidak rela membiarkan pemandangan yang menyayat itu. Anies merasa, ada pekerjaan yang harus dituntaskan.

Sisi lain lagi, semasa menjabat 2027–2022, terdapat tragedi pandemi. Suatu tragedi yang relatif tidak berhasil mengukir prestasi kinerja ekonomi yang dirancang 7% rerata tingkat pertumbuhannya. Meski berhasil mencapai 6,2% pada awal pemerintahannya, tapi tetap di bawah rancangan 7% yang dijanjikan. Dan ketidakberhasilan itu karena faktor pandemi covid-19. Semuanya maklum.

Apapun alasannya, seorang Anies merasa punya “hutang”. Kegagalan itu tampaknya juga menjadi keterpanggilan Anies untuk membuktikan kinerja ekonomi terbaiknya. Berarti, menerima amanat untuk menjadi Gubernur Jakarta merupakan proses politik administrasi politik-hukum yang tepat. Dan itulah sebabnya, Anies memang harus kembali memimpin Jakarta. Semakin urgent kondisinya, karena melihat gelagat jahat penggadaian sebagian wilayah Jakarta, minimal aset-asetnya untuk kepentingan panorama IKN, proyek ambisius dan tendensius Jokowi. “Haram” terjadi.

“Selamat datang kembali Mas Anies. Dharma baktimu untuk Jakarta memang dinanti,” ucap salah satu warga Jakarta yang sangat merasakan manfaat besar selama Anies memimpin Jakarta periode 2017–2022. Karenanya dirindukan untuk memimpin kembali Jakarta ini, meski telah “dicabut secara rudapaksa” status keibukotaannya untuk negeri ini. Jakarta masih tetap strategis. Menambah magnetik, bahkan menjadi “travo” bagi kalangan pebisnis internasional dan pelaku ekonomi domestik. Itulah sebab, sang Anies memang harus kembali memimpin lagi Jakarta.

Bekasi, 20 Juli 2024
Penulis: Analis Politik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *