SUPARMI, usianya kini 50 tahun. Ia berjuang bertahan di kota besar seperti Bekasi. Setiap hari ia berjalan kaki dari tong sampah yang satu ke tong sampah yang lain, untuk melihat dan mengais tong sampah barangkali masih ada barang bekas, berupa botol air mineral, kardus atau apapun yang masih punya nilai nan bermanfaat.
Keringatnya mengucur membasahi jilbabnya yang sudah lusuh. Ia telah terbiasa menghirup bau busuk dari tong sampah ketika mencari barang-barang bekas, yang masih bernilai yang dibuang pemilik rumah.
Jika nasib sedang baik ada saja pemilik rumah yang memanggilnya dan menyerahkan barang bekas. Barang-barang bekas itu dikumpulkan lalu dijual kepada bos.
Tapi jika nasib sedang sial, ia sering dicurigai mengambil barang tanpa ijin pemilik rumah. Dan, tak jarang dibentak dan dicaci maki dengan kata kasar dan merendahkan.
Suparmi saat diajak berbincang dengan Koran Bekasi, ketika tengah memulung barang bekas di Perumahan Pondok Hijau Kelurahan Pengasinan, Kecamatan Rawalumbu Kota Bekasi, Ahad 1 September 2024.
“Saya sudah jadi pemulung selama 10 tahun,” katanya dengan suara yang pelan.
Bekerja sebagai pemulung dia lakoni karena terpaksa. Tak ada pilihan, sementara tuntutan hidup semakin berat. Selama itu halal, kenapa tidak?
Ia mengaku setiap hari berhasil memperoleh Rp200 ribu, setelah barang-barang bekas dijual ke bos penampung barang bekas.
Dari hasil penjualan barang bekas itu digunakan untuk membiayai kuliah anaknya yang paling kecil di Bina Sarana Informatika Universitas.
“Harapan saya tentu jika anakku selesai kuliah dapat gelar sarjana dan bekerja, nasib hidup kami bisa berubah,” lanjutnya.
Menurutnya, ia bersama suaminya sempat ikut transmigrasi ke Sumatera tepatnya di Sibolga, Tapanuli Tengah. Namun, mereka gagal, lalu lahan pertanian milik mereka dijual, kemudian balik ke Jawa.
Di Jawa, ternyata kehidupan semakin berat dan keras. Akhirnya, terpaksa jadi pemulung. (Imran Nasution)