Oleh Hessy Elviyah SS
(Guru Tahsin Metode Yanbua)
KABAR mengejutkan datang dari Bekasi, Jawa Barat. Tujuh remaja ditemukan tewas mengambang di Kali Bekasi pada Minggu (22/09/2024). Diduga, ketujuh remaja tersebut sengaja melompat ke Kali Bekasi untuk menghindari patroli yang dilakukan oleh kepolisian setempat.
Menurut keterangan polisi, patroli dilakukan atas petunjuk tim patroli perintis presisi yang menduga adanya sekumpulan remaja yang hendak tawuran.
Lebih jauh, menurut keterangan saksi ketujuh korban sempat berkumpul bersama kurang lebih 60 remaja lainnya. Mereka berkumpul di sebuah gubuk di depan PT. Gudang Semen Merah Putih, Jatiasih. Saat polisi tiba, sejumlah remaja tersebut bergegas membubarkan diri. Ada yang melarikan diri ke perumahan warga dan ada pula yang kabur ke Kali Bekasi. Akibat kejadian ini, Polda memeriksa 17 polisi dan 10 saksi. (CnnIndonesia.com, 24/09/2024)
Generasi saat ini akrab dengan kekerasan seperti tawuran, bullying dan tindakan kriminal lainnya. Keadaan ini membuat miris sebab generasi muda adalah penentu peradaban bangsa masa depan. Tidak dapat dibayangkan, bagaimana nasib bangsa ini jika kehidupan generasi mudanya hancur berantakan seperti ini.
Produk Sekularisme-liberalisme
Tak dapat dipungkiri, kebanyakan kehidupan generasi saat ini jauh dari harapan. Hidup hedonis, lebih senang berfoya-foya dan berpikir pragmatis terhadap permasalahan. Tak heran, jika generasi saat ini dikenal dengan julukan generasi strawberry. Cantik terlihat dari luar, namun lembek di dalamnya.
Namun keadaan generasi muda saat ini bukan semata salah mereka. Banyak faktor pendukung yang menyebabkan kondisi generasi saat ini sangat memprihatikan. Pertama, faktor individu. Kehidupan yang bebas (liberalisme) membuat generasi muda tidak mempunyai pegangan hidup. Terlebih, tontonan di media sosial yang tak terkontrol sering kali ditiru oleh generasi saat ini yang memang berada pada fase penasaran, ingin mencoba sesuatu hal yang baru dan ingin terlihat keren di mata orang lain.
Flexing (pamer) adalah jalan pintas menunjukkan “kehebatan” di sosial media. Hal ini diperparah dengan pendidikan agama yang minim didapatkan generasi muda. Sehingga sentuhan ruhiyah dalam diri generasi saat ini benar-benar kosong. Generasi muda hampir tidak mengenal halal dan haram. Standar hidup mereka adalah kebahagiaan dunia semata. Sekolah yang semestinya menjadi media pembelajaran untuk mengenali dirinya sebagai hamba Allah nyatanya hanya berfokus pada materi pelajaran. Sehingga lahirlah generasi yang hanya menguasai ilmu pengetahuan tanpa adab dan akhlak mulia.
Kedua, faktor keluarga. Tak jarang ditemui kacaunya fungsi tatanan keluarga dalam sistem hidup ini. Bapak yang seharusnya menjadi qowwam (pelindung, kepala keluarga) tak terlihat perannya dalam keluarga. Mungkin jasadnya ada, tapi perannya nihil. Misalnya lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah, sehingga tidak punya waktu untuk bercengkrama bersama keluarga, atau pulang ke rumah dalam keadaan capai, sehingga di rumah menyisakan stres akibat tekanan di tempat kerja.
Demikian juga ibu, yang seharusnya menjadi ummah warabbatul bait (menjaga/mengatur rumah) kini seringkali ditemui bekerja di luar rumah. Entah karena tuntutan ekonomi atau memang karena lebih mementingkan karirnya. Alhasil, waktu buat anak menjadi berkurang. Padahal, kewajiban utamanya sebagai madrasatul ula yakni sekolah pertama bagi anaknya. Anak tak lagi memiliki “rumah” untuk pulang. Akhirnya mereka lebih senang bermain bersama kawan-kawannya sebab jarak yang dibentuk oleh ayah ibunya.
Ketiga, masyarakat. Kehidupan bermasyarakat tidak lagi menjadi kontrol yang kuat. Masyarakat yang permisif terhadap kondisi lingkungan senantiasa melakukan pembiaran terhadap pelaku pelanggaran. “Asal bukan anak gue” adalah cerminan masyarakat yang apatis terhadap lingkungan sekitar. Istilah “bukan urusan Lo” juga merupakan penyakit yang menyebabkan hilangnya fungsi masyarakat pada abad ini. Sehingga tak lagi ditemukan masyarakat sehat yang saling menasihati. Sebab menasihati dianggap ikut campur urusan orang lain.
Keempat adalah negara. Lembaga negara inilah yang seharusnya menjadi pelindung terkuat rakyatnya. Namun nyatanya perlindungan terhadap generasi sangat minim. Adanya tawuran yang berulang, bullying yang terus terjadi hingga tindakan asusila pada generasi menunjukkan seolah pemerintah abai terhadap generasi saat ini.
Sanksi kepada pelaku pelanggaran yang diberikan negara lemah sehingga tidak membuat jera. Kebijakan kurikulum pendidikan yang diterapkan di sekolah menjauhkan dari agama (sekularisme). Kebijakan ekonomi kapitalistik- penyebab kebutuhan hidup mahal-membuat fungsi keluarga tempat anak mendapatkan kasih sayang lenyap. Orang tua sibuk mencari duit untuk menopang hidup.
Inilah hal yang menyebabkan generasi muda kehilangan jati dirinya. Generasi muda terbajak potensinya sebab sistem hidup yang salah. Masa remaja yang seharusnya mempersiapkan diri untuk menciptakan peradaban gemilang kini hancur karena tak terarah.
Oleh sebab itu, sudah selayaknya hidup dalam sistem hidup yang sahih. Sistem hidup yang berlandaskan Al Qur’an dan As Sunah. Inilah sistem hidup yang mampu menciptakan manusia unggul. Dari sistem hidup ini lahir generasi gemilang seperti Muhammad Al Fatih yang mampu menaklukkan konstantinopel pada usia 21 tahun.
Ada pula Shalahuddin Al Ayyubi yang telah ikut berperang melawan musuh Allah di usianya yang tergolong belia yakni 16 tahun.
Demikianlah perbedaan kontras antara generasi muda yang dibentuk oleh sistem kapitalisme-sekularisme-liberalisme dan sistem Islam. Jelas, sistem Islam lah yang mampu melahirkan generasi muda yang tangguh dan berkarakter Islam.
Maka dari itu perlu disadari bahwa sistem hidup kapitalisme adalah sistem hidup yang telah gagal melindungi generasi sehingga butuh sistem hidup Islam yang menerapkan syariat Islam secara kafah untuk menyelamatkan generasi muda dari kehancuran. Wallahu alam.***