PASAR atau poken Siunggam merupakan “gravitasi ekonomi” banyak desa. Tidak hanya warga Siunggam yang memanfaatkan pasar keliling yang dapat giliran pada hari Jumat itu. Desa dari delapan penjuru angin tumpah ruah yang membuat poken penuh sesak.
Siunggam, Padang Bolak, 48 KM dari Padang Sidempuan, pusat kota Tapanuli Bagian Selatan, atau 400 KM dari Medan, ibu kota Sumatera Utara.
Pasar yang tidak begitu luas itu tergolong serba lengkap. Di sektor barat berderet rumah panjang atau ruko; di sektor timur tukang pisang goreng dengan kayu bakar; di sektor selatan bagian pojok ada permainan judi janggar-janggar; di sudut utara ada lopo tuak atau pakter; di tengah ada kerumunan warga yang membeli kebutuhan dapur dan pedagang pakaian.
Untuk menembus kerumunan, seorang tukang panggul terpaksa bohong bahwa barang yang ia pundak air panas, padahal itu minyak goreng.
” Aek milas ( air panas)…aek milas awas naron tukkis tu ho, padao,” teriak si tukang panggul.
Mendengar air panas, orang orang pada minggir, si tukang panggul pun melenggang.
Selain tempat bertemunya penjual dan pembeli, pasar itu juga tempat muda-mudi memadu kasih atau wakuncar. Bagi yang belum punya pacar berkesempatan dapat pasangan di pasar itu atau yang disebut ‘mangepet’.
Pendek kata, era saya 80-an poken Siunggam adalah kebanggaan warga, dan Jumat dinanti karena hari itu dapat limpul uang jajan alias 50 rupiah. Umumnya anak kampung itu diberi jajan sekali seminggu di hari poken itu. (Erman Tale Daulay/Asal Desa Siunggam Paluta/Kini Tinggal di Depok)