DALAM kisah pencarian kebenaran dalam peristiwa perselisihan antara Nabi Yusuf (Tergoda) dan Yulaiha (penggoda), Alloh ﷻ menjelaskan dalam AlQur’an;
وَلَقَدْ رَاوَدْتُهُ عَنْ نَفْسِهِ فَاسْتَعْصَمَ ۖ وَلَئِنْ لَمْ يَفْعَلْ مَا آمُرُهُ لَيُسْجَنَنَّ وَلَيَكُونًا مِنَ الصَّاغِرِينَ
“Sesungguhnya aku (mengakui) telah menggoda dia untuk menundukkan dirinya (kepadaku) akan tetapi dia menolak. Dan sesungguhnya jika dia tidak mentaati apa yang aku perintahkan kepadanya, niscaya dia akan dipenjarakan dan dia akan termasuk golongan orang-orang yang hina.” (QS: Yusuf: 32)
Kutipan dari ayat ke- 32 Surah Yusuf di atas adalah pengakuan seorang perempuan yang telah menggoda Nabi Yusuf untuk melakukan hal tak terpuji, namun tidak berhasil.
Tetapi faktanya di meja pengadilan Nabi Yusuf tetap dinyatakan bersalah, dan beliau dijebloskan ke dalam penjara. Padahal saksi sudah sangat jelas. Bukti pun sudah diperlihatkan, berupa gamis sang Nabi yang terkoyak di bagian belakang.
Rupanya saksi dan bukti tak ada gunanya jika mahkamah kerajaan telah dikuasai oleh pihak-pihak yang sejak semula memang ingin memenjarakan Nabi Yusuf.
قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ ۖ وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ
Yusuf berkata, “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan aku dari kecurangan mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.”
(QS: Yusuf: 33)
Ayat berikutnya lantas menggambarkan bahwa Nabi Yusuf sejatinya telah mengetahui bagaimana ia dicurangi sedemikian rupa, namun beliau tetap ridha dengan takdir Alloh.
Bukan hanya perempuan itu dan Nabi Yusuf yang tahu tentang kejadian sebenarnya, dalam kitab Tafsir Jalalain juga disebut bahkan penduduk satu negeri pun telah sama-sama menjadikan tragedi tersebut sebagai bahan perbincangan mereka.
Tetap saja, kendali berada di pihak yang curang. Nafsu telah membutakan mata mereka, kekuasaan telah membekukan hati mereka. Maka Nabi Yusuf pun pasrah dengan keputusan tidak adil yang ia terima.
Dari kisah ini kita belajar, bahwa tidak selamanya Allah memenangkan kebenaran. Terkadang Alloh ﷻ memberi pendidikan pada hamba-Nya yang saleh, bahwa dunia ini ada kalanya tidak adil.
Sehingga hamba-Nya semakin rindu akan negeri akhirat, negeri perjumpaan dengan Rabb mereka, negeri di mana keadilan akan tegak dengan kokoh di sana.
Jika semua keadilan telah terpenuhi di dunia, lalu dengan cara apa engkau merindukan negeri akhirat wahai orang-orang mukmin..?
Mari kita lanjutkan kembali kisah sang Nabi yang mulia tersebut. Bahwa setelah beliau menerima kekalahan, merasakan penjara, justru semakin terasah kecerdasannya. Ayat ke-37 menguraikan dengan cermat perihal ini.
Kekalahan yang diterimanya, juga menyebabkan semakin tinggi derajatnya di sisi Alloh. Bahkan semakin banyak pengalaman yang ia dapatkan setelah itu, yang menyebabkan beliau pun siap mengayomi penduduk Mesir dengan bijaksana.
Rupanya Alloh memenangkan kecurangan pada mahkamah Nabi Yusuf, karena Dia tahu belum waktunya hamba-Nya itu memimpin negeri. Dialah Alloh Yang Maha Mengetahui kadar kesiapan masing-masing hamba.
Aduhai, betapa banyaknya kebijaksanaan yang Allah sembunyikan dalam suatu keputusan yang tidak sesuai dengan keinginan kita.
Mari renungkan kembali dengan keimanan terbaik, bahwa pengawasan Alloh sesungguhnya tak akan luput terhadap kaum yang jujur maupun kaum yang dzalim.
Tugas kita adalah berjuang, berdoa, dan selanjutnya mengikuti jejak para Nabi dalam ridha terhadap setiap takdir-Nya. Tetaplah bersemangat di jalan juang, wahai orang-orang mukmin..!
Perumpamaan kisah nabi Yusuf Alaihi Wa sallam ini seakan tergambar dari Keputusan MK yang dibacakan pada sidang MK, Senin 22 April 2024, Sengketa Pilpres 2024, yang memang sarat kecurangan…!!!
Semoga Alloh selalu bersama kita yang menginginkan kebenaran.
اللهم صل على محمد وعلى آله محمد
“Allohumma Shalli alaa Muhammad Wa alaa alih Muhammad”
وَاللّٰهُ أَعلَمُ بِالصَّوَابِ…
Wallohu A’lam Bish Showab. (Al Ustadz Dr Abu Fayadh Muhammad Faisal Al Jawy al-Bantani)