Bang Haji Setiadi: Teruslah Bangun Kualitas Keimanan dan Empati Kemanusiaan

Umum1678 Dilihat

TAKBIR menggema di seantero dunia. Itulah ekspresi kebahagiaan bagi umat muslim saat hari raya Idul Adha tiba. Kegembiraanya disertai juga dengan menyembelih hewan. Sebagian masyarakat, menyembelih unta, sapi dan atau kambing. Peritiwa ini mengandung makna. Inilah beberapa makna yang dipaparkan Bang Haji Setiadi, yang akrab juga dipanggil BHS.

Menurut BHS, salah satu anggota masyarakat Kota Bekasi yang concern terhadap praktik keagamaan dan peduli kemanusiaan, ada beberapa makna yang perlu direnungkan. Pertama, dilihat dari aspek sejarahnya, perintah Allah kepada Ibrahim untuk menyembelih putera semata wayangnya (Ismail) untuk menguji keimanan dan kualitas ketakwaan hambanya, yang bernama Ibrahim, meski sudah terpilih sebagai salah satu Nabi dan Rasul-Nya.

“Fakta sejarah mencatat, Ibrahim demikian tunduk (bertakwa) sepenuh hati atas perintah-Nya. Yang menakjubkan, Ismail yang masih tergolong bocah pun mendukung sepenuhnya atas perintah Allah itu. Juga, Siti Sarah al-Qibthiyyah al-Mishriyah selaku istrinya. Beliau ikut meneguhkan suaminya dalam melaksanakan perintah Allah SWT. Sungguh luar biasa. Tak sedikit pun raut wajah bimbang dan ragu,” papar BHS sembari membayangkan wajah orang-orang pilihan itu.

“Maasyaa Allaah,” lanjut BHS sembari menerangkan, bahwa ketiga insan pilihan itu demikian ikhlas menjalankan perintah-Nya. Dalam hal ini Allah melihat keikhlasan Ibrahim, Siti Sarah dan Ismail. Dan keikhlasan ini sejatinya merupakan cara Allah dalam melihat hamba-Nya dalam mentaati perintahdan atau larangan-Nya. Inilah kualitas keimanan hamba Allah.

Allah Maha Sayang. Keikhlasan itu – lanjut BHS – langsung dibalas dengan mengirimkan seekor domba, menggantikan Ismail. Tersembelihlah seekor domba. Di sanalah – sejarah mencatat, Ismail menyambut “wa lillaahilhamd” setelah selesai penyembelihan. Betapa bahagia seorang Ibrahim, ibunya, dan tentu Ismail.

Bagi seorang Nabi dan Rasul – lanjut BHS lagi – kebahagiaan itu layak dibagikan kepada tetangga sekitarnya. Itulah sebabnya – jika kita tarik sisi sejarah qurban itu – daging hewan qurban dibagikan kepada masyarakat, terlebih kepada kaum dlu`afa. Aspek ini mengajarkan Islam – dalam praktik ibadah qurban – sejatinya mengajak seluruh umat manusia untuk peduli terhadap sesama, terlebih kepada kaum fakir-miskin.

Kaum dlu`afa tetap berhak merasakan bahagia. Misi besarnya, harus terbangun rasa empati antar sesama umat manusia, bahkan lebih dari itu: saling menolong, bukan sebaliknya. Sikap saling menolong dan empati – dalam konteks lain – bisa menjadi potensi positif tersendiri, dalam kaitan politik, kerjasama ekonomi bahkan untuk hajat yang lebih besar, yakni pertahanan negara. Sebab, dari kuatnya saling menolong akan tumbuh kesadaran untu bersatu atas nama negara.

“Akhirnya, kita tak bisa melepaskan pandangan bahwa bangunan empati antar sesama umat manusia merupakan wujud nyata kesalehan sosial. Karena itu, kita perlu menyadari bahwa berkurban sangat erat kaitannya dengan kesalehan sosial. Subhaanallaah. Seluruh perintah dan atau larangan Allah pasti punya makna. Dan itu untuk kebaikan manusia itu sendiri. Itulah makna yang perlu kita renungkan bersama dan refleksikan dalam tataran individu dan seluruh elemen,” pungkas HBS, yang sejak dulu memang terpanggil untuk mewujudkan rasa kepedulian.

Rasa kepedulian seperti ini menjadi penting untuk dirancang lebih jauh dalam tataran kebijakan. Inilah makna krusial sang pemimpin yang harus bekarakter saleh, untuk dirinya sendiri, juga terhadap rakyatnya. Insyaa Allah, akan terwujud daerah yang makmur dan sentosa. (Chandra Prabantoro)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *