SAYA bukan ahli pertanian. Tapi saya anak seorang petani. Masa kecil saya penuh dengan lumpur sawah. Oleh karena itu, saya merasa punya sedikit wewenang untuk ikut rembuk soal polemik varietals padi lokal, siporang ini.
Pertama-tama, kita harus melihat fakta-fakta konstanta dahulu, baru bergerak kepada variabel-variabel yang dipolemikkan. Beras padi siporang sangat enak, unggul, dan jauh lebih disukai daripada beras dari rekayasa benih unggul. Masa panennya lebih lama, sehingga merugikan dari segi waktu. Kemampuan adaptifnya lebih baik karena siporang adalah benih tradisional yang sudah terseleksi tumbuh pada wilayah penanamannya secara spesifik selama ratusan bahkan ribuan tahun.
Benih-benih tradisional sekelas siporang juga ditemukan pada masyarakat desa atau suku lain. Setiap masyarakat agraris yang memiliki makanan pokok berbasis beras, pasti mengenal bibit-bibit unggulan yang terkait dengan kebutuhan pokok dan ritual adat lokal. Ekologi budaya mereka dalam pertanian mengikuti sifat lembah, dataran, iklim, dan sifat-sifat mineral tanah. Cara-cara bertaninya pun sangat adaptif terhadap curah hujan, sumber air, kontur tanah, dan alat kerja yang diciptakan menurut capaian teknologi budayanya.
Karena pertanian bukan hanya soal produksi, tapi juga terikat pada adat budaya, maka keberhasilan pertanian terkadang tidak diukur dari volume saja, tapi juga dari ketersediaan jenis padi untuk berbagai ritual. Itulah sebabnya setiap petani desa dahulu menanam lebih dari satu jenis bibit di petakan sawah yang sama. Saya masih ingat betul, selain menanam padi biasa, Ibu saya juga menanam padi merah (eme rara) dan eme sipulut. Waktu itu saya mendengar beberapa nama benih disebutkan, seperti si lumut, si porang, dan si-si yang lain. Kata “si” ini berasal dari “hsi” yang bermakna “yang agung”. Orang-orang lembah Asia Selatan menggunakan kata ini untuk menghormati sesuatu.
Mereka menyebut nama orang dengan Hsi Regar, Hsi Naga, Hsi Matupang, Hsi Tumorang, dll. Orang-orang kawasan Indocina, India, dan Melayu menyebut Pegunungan Malaya dengan Hsi Malaya, karena mereka menghormatinya, apalagi dalam kepercayaan Hindu, Siwa bermukim di salah satu puncaknya.
Orang-orang di Tapanuli bagian selatan (Tabagsel) sangat memuliakan padi karena ketergantungan mereka yang sangat besar padanya. Latarbelakang inilah yang menjelaskan mengapa mereka selalu mengawali penyebutan jenis padinya dengan kata “si” (hsi). Bagi orang Tabagsel, nasi adalah rujukan untuk kegiatan makan. Kalau mereka mengatakan “mangan”, itu berarti sudah pasti harus ada nasinya. Tapi kalau memakan yang lain, maka kata makan harus diikuti dengan objek yang dimakan, misalnya “mangan tarutung”, “mangan juhut”, “mangan ihan”, dll.
Nah, pada tahun 1980-an, Pemerintahan Orde Baru sedang bergiat untuk mencapai target swasembada pangan. Untuk mencapainya, pemerintah tertarik untuk mengadopsi teknik-teknik pertanian terbaru dimana input benih unggul, pupuk kimia, pestisida, dan herbisida dicangkokkan ke dalam siklus pertanian lama. Belakangan, teknologi ini semakin dilengkapi dengan mekanisasi pengolahan tanah, penyemprotan, dan kegiatan pasca-panen. Para petani makin dikurangi tenaganya. Tapi karena tradisi makan nasi masih tetap dipertahankan, sedangkan kegiatan fisiknya sudah jauh berkurang, maka masyarakat Tabagsel menderita satu penyakit yang tidak ada sebelumnya, yaitu menjadi salah satu penyandang prevalensi diabetes (penyakit gula) tertinggi di Indonesia. Sebagaimana diketahui, beras mengandung karbohidrat yang sangat tinggi, terlebih lagi padi dari benih rekayasa.
Kebijaksanaan pertanian moderen yang kemudian dikenal dengan Revolusi Hijau itu hanya peduli pada dua hal, yaitu produktivitas tinggi dan ketahanan pangan. Anda bisa menghasilkan 15 kaleng padi per rante apabila menggunakan benih ini, pupuk ini, herbisida ini, dan ini, ini, ini…. Dan Anda bisa panen 3 kali setahun dengan siklus tani yang diperpendek menjadi hanya 3 bulan. Lalu, dengan program ini, pemerintah mengggenjot stok beras nasional, sehingga ditemukanlah suatu titik ekuilibtium yang dapat dijadikan acuan apakah Indonesia sudah swasembada pangan, minus, atau surplus pangan.
Kebijaksanaan ini tidak menghitung-hitung variabel lain yang dapat dilihat dengan angka maupun yang tidak. Misalnya, dengan capaian produksi yang meningkat, apakah petani sebenarnya untung apabila dikurangkan dengan seluruh konstruksi biaya pertanian yang mereka keluarkan untuk mencapai angka produksi tersebut? Lalu, dengan lumpuhnya kemampuan para petani menciptakan pupuk dan pestisida berbasis lingkungan dan melakukan pengorganisasian sosial (marsialap ari), apakah sebenarnya hal ini tidak merugikan mereka dari sisi kedaulatan pangan? Benar bahwa stok beras harus menjamin keberlangsungan pangan nasional, tapi kalau hal itu dilakukan dengan mengorbankan kedaulatan pangan, maka situasinya sebenarnya rawan. Bila input pertanian sudah terlalu tergantung pada korporasi multi nasional, maka dalam perspektif pertahanan negara, ini adalah kebijakan pertanian yang rapuh. Polemik antara konsep ketahanan pangan dan kedaulatan pangan ini pernah marak di awal tahun 2000-an, tapi tidak mengubah wajah pertanian kita yang makin industrialis.
Revolusi Hijau juga telah disadari membawa rakyat agraris terjebak ke dalam keseragaman pangan, dari keadaan sebelumnya yang memiliki keanekaragaman pangan. Seketika saja, kita mendapatkan fakta yang miris dimana masyarakat pemakan sagu dan jagung menderita kekurangan pangan akibat politik pangan beras yang menghegemoni jenis makanan pokok lainnya. Belakangan pemerintah yang menyadari situasi berat ini mulai mengkampanyekan program keanekaragaman pangan, namun sudah terlambat. Rakyat sudah kadung kecanduan beras! Ini masalah serius. Kami sendiri telah berusaha menanam sorgum sebagai alternatif pangan lainnya, dan yang paling berat bukanlah teknik budi daya dan pengolahannya, tetapi adalah mengubah kebiasaan makan manusianya. “Anggo naso marindahan do kedan, anggo au leng nahumitir mai annon,” kata mereka, lalu mereka pun menyendok nasi sepiring penuh dan menjumputnya dengan satu genggaman penuh sekali “ngaum”.
Praktik pertanian moderen juga telah mengancam prinsip pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture). Eksploitasi terhadap tanah dengan pupuk dan pestisida pada kenyataannya membuat tanah jenuh, merusak ekosistem mikro, dan merusak struktur kesuburan yang dikenal oleh benih asli. Lapisan bawah lahan pertanian padi makin lama makin mengeras. Organisme di bawahnya mati karena pupuk kimia dan pestisida. Padahal organisme itu dahulunya adalah sumber kesuburan alami yang berkelanjutan. Akibatnya, kesuburan buatan semakin menuntut dosis tinggi. Hama juga semakin membentuk imunitas, dimana beberapa jenis serangga tertentu makin kebal dengan pestisida, sedangkan serangga jenis lain punah. Ekosistem menjadi kehilangan keseimbangan, sehingga petani makin memerlukan bahan tambahan untuk mengatasi dampak hama dan degradasi tanah. Biaya yang dikeluarkan sering tidak sepadan lagi dengan hasil yang didapatkan, meskipun jumlah produksinya barangkali tercatat naik. Keadaan ini semakin diperburuk oleh phobia pemerintah terhadap bencana kekurangan pangan, sehingga kebijakan impor pangan selalu dilakukan setiap menjelang musim panen petani dalam negeri, yang membuat harga jual padi merosot. Mereka yang bekerja keras untuk ketahanan pangan itu malah terhimpit di antara proses pekerjaan yang makin mahal dan harga jual yang makin murah. Kita dapat memaklumi bila saat ini profesi petani adalah profesi paling hina di mata masyarakat, yang hanya menjadi pilihan terakhir bagi masyarakat desa yang miskin.
Di penghujung kerusakan sektor pertanian pangan ini, mulailah segelintir masyarakat terdidik menganjurkan agar bangsa kita kembali kepada cara-cara pertanian organik, dengan prinsip berkelanjutan, dan memanfaatkan benih-benih lokal dimana masyarakat dapat melakukannya secara swadaya untuk keperluannya sendiri. Yang sebenarnya adalah, ini merupakan pengakuan memalukan, bahwa pertanian dengan cara para insinyur moderen telah gagal, dan mereka malu-malu mengatakan bahwa cara-cara pertanian desa di masa silam jauh lebih unggul dari pelajaran teknis mereka di kampus-kampus yang hebat itu.
Pada masa lalu, seorang petani tradisional cukup pergi ke sawah sekali setahun. Mereka menanam benih padi lokal berusia enam bulan. Setelah itu, sawah diberakan (ditinggalkan) selama enam bulan berikutnya, sembari menunggu musim tanam yang tepat pada tahun berikutnya. Masa bera itu adalah waktu yang diperlukan untuk memulihkan kesuburan tanah ke sedia kala. Mereka juga memelihara ternak seperti lembu dan kerbau untuk memakan rumput yang tumbuh di atas sawah di masa jeda itu. Ketika musim tanam tiba kembali, lahan sawah itu sudah pulih kesuburannya, ditambah dengan unsur pupuk kandang dari hewan ternak yang dilepaskan selama jeda itu. Maka, hasil pertanian mereka selalu stabil, dan cukup untuk persediaan makan mereka sampai satu tahun berikutnya. Selama enam bulan yang kosong itu, masyarakat desa mengembangkan adat dan budayanya, menganyam tikar, menyelenggarakan horja perkawinan putra-putrinya, mengunjungi kerabat, memperbaiki kandang lembu, membuat alat tangkap ikan, menempa besi, martumba, mar-nasyid, membangun rumah secara gotong royong, dan sebagainya. Jadi, meskipun hanya bersawah sekali setahun, mereka sangat produktif, berdaulat, dan memiliki waktu untuk meningkatkan kecerdasan budaya mereka, menjadi tuan di atas tanahnya sendiri, dan pantang menjadi jappurut perkebunan orang lain. Orang Tabagsel menikmati beras terbaik, menyembelih ternak untuk horja godang, atau menjualnya tiga ekor untuk ongkos naik haji. Mereka punya sistem tabungan hidup. Bank sosial yang kini mati suri.
Apa yang terjadi hari ini? Dengan bertani dua sampai tiga kali setahun, dengan margin keuntungan yang makin kecil, masyarakat desa justru telah kehilangan banyak waktu untuk diri mereka sendiri. Mereka tiba-tiba menjadi petani yang tak kenal waktu. Kreatifitas dan inovasi budaya mereka mandeg. Waktu untuk membikin dodol atau lemang saja payah waktunya. Berbagai jenis kuliner lokal yang mewah perlahan hilang. Cara bertani mereka didikte oleh perusahaan-perusahaan yang menanam di bursa saham. Mereka seperti buruh di atas tanahnya sendiri.
Nah, ketika situasi ini sudah menjadi budaya baru, maka seruan untuk kembali ke pertanian organik menjadi terdengar asing dan aneh. Satu generasi petani tradisional telah hilang. Warisan mereka ikut hilang, terkubur oleh pertanian angka-angka. Ketika segelintir orang mulai mencoba “the old way”, mereka harus belajar lagi. Ini tidak mudah, karena harus merubah kebiasaan. Selain itu, lingkungan pendukung sudah rusak. Mengembalikan kesuburan tanah itu tidak dapat dilakukan sekali siklus saja. Pembentukan ekosistem adalah proses panjang. Saya sendiri saat ini mencoba mengembalikan kesuburan sepetak ladang saya secara organik dari pemilik lahan sebelumnya yang menggarapnya dengan aneka pupuk kimia dan pestisida/herbisida. Sudah 8 tahun, kesuburannya belum pulih meskipun telah membaik. Ada sejumlah mikro-organisme yang telah hilang, seperti bakteri pengurai, cacing-cacingan, dan lelumutan. Belum lagi beban sisa pestisida dan pupuk kimia yang hanya bisa hilang secara perlahan.
Saya menduga, penurunan produksi hasil sawah benih siporang yang ditanam masyarakat di Batang Toru secara organik bersama PT AR, secara teknis adalah pengaruh dari cara pertanian sebelumnya. Diperlukan masa relaksasi antara dampak kerusakan lingkungan menuju kesuburan alamiahnya kembali. Masa krisis ini terasa menyakitkan, tapi bahkan ini masih lebih baik ketimbang bertahan terus dalam cara pertanian yang membuat orang-orang desa seperti kuda beban selamanya.
Oleh karena itu, dalam pandangan saya, PT AR tidak perlu melakukan manipulasi atau pencitraan terhadap program yang mereka kerjakan. Mereka harus terus terang bahwa fase ini akan terjadi, dan di sinilah peran mereka untuk meringankan beban penyembuhan pertanian itu. Misalnya dengan membeli hasil pertanian organik dengan insentif harga yang lebih tinggi. Jadi, walaupun angka produksi masyarakat petani menurun untuk sementara–menunggu restorasi lahan–warga pun tidak terlalu frustrasi sepanjang melalui proses “healing crisis” ini. Tidak ada gunanya bermanis-manis untuk merias programnya, apabila toh masyarakat semakin dibuat tidak mengerti arah atau orientasi cara pertaniannya. Mereka adalah soko guru kesejahteraan bangsa kita. Bila mereka kelak berhasil, kita semua juga yang akan memetik rasa manisnya.
Semoga para petani sawah di Tabagsel kembali kepada kejayaan masa lalunya. Agar kita bisa menaikkan standar, selera, kecerdasan, dan gaya hidup yang ditopang oleh nilai-nilai dan kearifan budaya kita sendiri. (Tikwan Raya Siregar/Penulis/tinggal di Medan)