Kekerasan dalam Keluarga Merebak: Tanda Peradaban Rusak

Opini431 Dilihat

Oleh Rayhana Radhwa

(Ibu Rumah Tangga, Tinggal di Bekasi)

SEORANG pegawai ASN di Direktorat Jenderal Pajak berinisial FAF kini ditahan Polres Metro Kota Bekasi setelah dilaporkan oleh istrinya karena tindakan kekerasan berupa tendangan dan pukulan. Peristiwa ini bahkan disaksikan oleh anak mereka (viva.co.id, 29/08/24).

Baru-baru ini, publik dikejutkan dengan unggahan video selebgram Cut Intan Nabila yang mengungkap kekerasan rumah tangga yang dialaminya selama lima tahun terakhir. Video tersebut menjadi viral dan mengejutkan netizen.

Lebih miris lagi, sebuah berita dari Pontianak mengungkap seorang anak berusia 6 tahun yang menjadi korban kekerasan sadis oleh ibu tirinya, IF. Anak tersebut dikurung tanpa diberi makan dan akhirnya ditemukan dalam keadaan terkurung di dalam karung setelah dilaporkan hilang selama seminggu. IF mengaku cemburu karena merasa kurang diperhatikan oleh suaminya selama ia hamil (daerah.sindonews.com, 24/08/24).

Di sisi lain, seorang pemuda berusia 22 tahun di Cirebon tega menikam ayahnya hingga tewas dan menganiaya adik perempuannya, yang kemudian harus dirawat di rumah sakit. Tiga tusukan pisau dapur menyebabkan kematian ayahnya (metrotvnews.com, 24/08/24).

Dunia seperti apa yang kita tinggali saat ini? Lingkungan yang seharusnya menjadi tempat berlindung bagi setiap individu untuk merasakan ketenangan, kenyamanan, dan kasih sayang telah berubah menjadi medan pertempuran, di mana nyawa dipertaruhkan.

Kasus-kasus di atas hanyalah puncak gunung es dari berbagai kasus kekerasan dalam keluarga yang seharusnya tidak terjadi. Apa yang terjadi dengan peradaban kita ketika banyaknya kasus ini disebabkan oleh emosi yang tak terkendali? Apakah kemampuan manusia untuk mengendalikan emosi telah sedemikian rendah hingga kemarahan mengaburkan hubungan keluarga?

Jika kekerasan dalam keluarga telah menjadi gejala yang meluas di seluruh lapisan masyarakat dan dapat dianggap sebagai masalah sosial, maka diperlukan evaluasi sistemik yang menyeluruh. Aspek pendidikan memegang peranan penting dalam pembentukan kepribadian masyarakat.

Kemampuan mengelola emosi dan hubungan sosial seharusnya menjadi kemampuan dasar yang dimiliki oleh setiap individu sebagai bekal menjalani kehidupan. Sayangnya, dalam sistem pendidikan sekuler, kemampuan ini seringkali diabaikan dan pendidikan lebih berfokus pada intelektual.

Ditambah lagi, tekanan ekonomi yang semakin tinggi dapat mengguncang fondasi keluarga. Inflasi dan tingkat pengangguran yang tinggi tidak hanya menghantam masyarakat miskin, tetapi juga menekan kelas menengah. Distraksi dari media sosial yang sering kali bersifat merusak dan beracun menjadi tantangan tersendiri.

Flexing dan gaya hidup yang berfokus pada materi menyebabkan konsumsi media sosial yang tidak sehat. Kekacauan ini memperberat beban psikologis, baik bagi orang tua, suami, istri, maupun anak. Secara umum, ketidakmampuan negara dalam mengatur kehidupan publik berujung pada kegagalan institusi keluarga sebagai unit terkecil. Ini sangat tragis.

Fenomena sosial kekerasan dalam keluarga yang sedang marak ini juga menimbulkan slogan singkat namun berbahaya: “pernikahan itu menakutkan”.

Hanya dengan tiga kata, masyarakat dibuat takut untuk menikah, padahal pernikahan dan keluarga merupakan ikatan yang dimuliakan dalam Islam. Rasulullah Muhammad SAW bersabda: “Apabila seorang hamba menikah maka telah sempurna separuh agamanya, maka takutlah kepada Allah SWT untuk separuh sisanya.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman).

Pernikahan memang tidak mudah, namun akan menjadi indah jika kedua mempelai mempersiapkan diri dengan ilmu. Meluruskan niat menikah bukan hanya sebagai tuntutan sosial, tetapi sebagai langkah untuk melanjutkan keturunan manusia yang akan menjadi tonggak peradaban berikutnya. Riak-riak dalam rumah tangga harus dihadapi dengan kepala dingin dan tidak dengan emosi.

Allah berfirman: “Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS An-Nisaa:19).

Islam tidak hanya menyerukan agar individu Muslim berperilaku baik terhadap keluarga, tetapi juga memerintahkan para pemimpin untuk mengayomi masyarakat dengan menerapkan syariah secara sistemik. Penerapan syariah yang komprehensif dalam kehidupan publik ini akan mendukung ketahanan keluarga.

Kebijakan ekonomi dari seorang kepala negara seharusnya menjadi salah satu penguat keluarga. Rasulullah sebagai kepala negara pernah didatangi oleh seorang pria yang mengalami kesulitan ekonomi. Beliau kemudian membantu pria tersebut dengan menjualkan harta bendanya yang laku dua dirham. Dari hasil penjualan itu, satu dirham digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari dan sisanya dibelikan kapak sebagai modal untuk bekerja.

Ini menunjukkan keseriusan Nabi dalam membimbing kecerdasan finansial dan menunjukkan lapangan kerja kepada masyarakat sesuai kemampuan mereka. Dari sini dapat disimpulkan bahwa penyediaan dan distribusi lapangan kerja adalah tanggung jawab kepala negara.

Khalifah Umar bin Khattab juga memberikan contoh kepemimpinan yang bijaksana dengan merevisi kebijakan militer hanya karena keluhan seorang istri. Demi keutuhan rumah tangga dan keluarga para mujahidin, Umar membatasi kepergian tentara untuk berperang maksimal selama tiga bulan. Selain itu, pada masa pemerintahannya, setiap ibu menyusui mendapatkan subsidi nafkah agar mereka dapat menyusui tanpa merasa tertekan, sehingga bayi mereka dapat tumbuh dengan gizi yang cukup secara fisik dan mendapat kasih sayang untuk perkembangan jiwanya.

Umar bin Khattab juga menunjukkan bagaimana ia mengendalikan diri ketika istrinya marah. Dalam kitab Syarah Uqudullujain karya Syekh Imam An-Nawawi Al-Bantani Al-Jawi, diceritakan bahwa seorang pria datang kepada Khalifah Umar untuk mengadu tentang sikap istrinya. Namun, ketika tiba di depan rumah Umar, pria tersebut mendengar istri Umar sedang memarahi suaminya. Umar hanya mendengarkan tanpa membalas. Pria itu kemudian memutuskan untuk pergi, tetapi Umar memanggilnya dan bertanya tentang keperluannya.

Pria itu menjawab bahwa ia datang untuk mengadu tentang istrinya, tetapi kemudian ia melihat bahwa istri Umar pun bersikap serupa. Umar menjelaskan bahwa ia menghormati istrinya karena ia telah bekerja keras menyiapkan makanan, mencuci baju, dan merawat anak-anak.

“Aku merasa cukup tenteram tidak melakukan perkara haram karena pelayanan istriku. Oleh karena itu, aku menerima kemarahannya,” ujar Umar.

Banyak ayat dan hadis yang mengajarkan pengendalian emosi. Misalnya, Rasulullah bersabda: “Bila salah satu di antara kalian marah saat berdiri, maka duduklah. Jika marahnya telah hilang, maka sudah cukup. Namun jika tidak hilang, maka berbaringlah.” (HR. Abu Daud).

“Sesungguhnya amarah itu dari setan, dan setan diciptakan dari api. Api akan padam dengan air. Apabila salah seorang dari kalian marah, hendaknya berwudhu.” (HR. Abu Daud).

Sistem pendidikan Islam menempatkan Al-Qur’an dan Hadis sebagai petunjuk hidup yang seharusnya diajarkan kepada murid-murid, tidak hanya dihafalkan, tetapi juga dipahami sebagai pedoman untuk menyelesaikan masalah. Keutamaan pernikahan dan keluarga diajarkan dalam sistem pendidikan. Ilmu-ilmu tentang kehidupan rumah tangga, baik secara teknis maupun psikologis, akan diajarkan secara luas.

Ilmu-ilmu ini dianggap sebagai pendidikan dasar yang diberikan kepada peserta didik sebelum mereka mencapai usia pernikahan. Dengan demikian, pernikahan tidak akan dianggap menakutkan karena bekal untuk menjalani pernikahan telah dipersiapkan, bahkan didukung oleh negara melalui penerapan syariah dalam sistem-sistem lainnya.

Peran negara dalam menjaga keutuhan keluarga juga mencakup penerapan sanksi yang tegas. Sudah diketahui bahwa hukuman dalam Islam terhadap pelaku penganiayaan atau pembunuhan tidak main-main. Ini bukan tindakan kejam, melainkan penghargaan atas apa yang telah hilang.

Fungsi tubuh sangat berharga, bahkan nyawa pun bernilai setara dengan dunia dan seisinya. Dengan demikian, masalah kekerasan dalam keluarga dapat diselesaikan dengan cepat, dan pelaku kekerasan akan menerima hukuman yang setimpal.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *